Rajin-rajinlah Belanja agar Ekonomi Tumbuh Tinggi

23Belanja masyarakat diandalkan menarik pertumbuhan ekonomi tahun ini

Setelah pemerintah berniat menghemat belanja rutinnya, konsumsi masyarakat menjadi satu-satunya harapan mesin pertumbuhan ekonomi. Pemerintah disarankan menjaga inflasi dan memberi insentif.

Berbagai jurus pemerintah untuk memutar roda ekonomi belum memperlihatkan dampak. Selama tiga bulan pertama tahun ini, ekonomi cuma tumbuh 4,92%. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan target pertumbuhan ekonomi yang dipasang pemerintah untuk tahun ini, yaitu 5,92%.

Jika dibandingkan dengan pencapaian di periode yang sama tahun lalu, tampak ekonomi negeri ini berjalan di tempat. Selama kuartal I 2015, ekonomi tumbuh sebesar 4,73%.

Besaran untuk masing-masing komponen pembentuk pertumbuhan juga tertahan di kisaran yang sama. Belanja pemerintah di kuartal I 2016 sebesar 2,93%, hanya sedikit di atas belanja tahun lalu, 2,91%.

Angka konsumsi rumah tangga untuk periode  awal tahun ini malah lebih rendah dibandingkan hasil yang dicetak year-on-year. Pada tiga bulan awal 2015, pengeluaran rumah tangga mencapai 5,01%, sedikit lebih besar dibandingkan pengeluaran konsumsi rumah tangga di awal tahun ini, yaitu 4,94%.

Pertumbuhan ekonomi yang mini di awal tahun tak membuat pemerintah cemas. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebut angka pertumbuhan di awal tahun memang lazim rendah. Namun dalam empat tahun terakhir, angka pertumbuhan di kuartal pertama selalu berada di atas 5%.

Komponen belanja pemerintah yang biasanya menjadi lokomotif pertumbuhan berjalan pelan di tahun ini. “Belanja pemerintah memang rendah, terutama belanja rutin. Kalau belanja modal sudah bagus,” tutur David Sumual, ekonom Bank Central Asia.

Seusai sidang kabinet yang berlangsung awal April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh kementerian / lembaga (K/L) untuk berhemat. Pos belanja yang menjadi sasaran pemangkasan adalah pengeluaran rutin.

Hasil dari penghematan belanja rutin itu, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil, akan dialihkan untuk membiayai berbagai program prioritas.

Dalam hitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total penghematan belanja rutin K/L sepanjang tahun ini mencapai Rp 50,6 triliun. Penghematan dana sebesar itu akan dijalankan dalam dua tahap.

Dalam tahap pertama yang dihemat adalah berbagai belanja operasional, seperti biaya perjalanan dinas, biaya rapat dan pertemuan, biaya jasa, seperti telepon dan air,serta biaya pembangunan gedung. Berbagai penghematan ini ditargetkan senilai Rp 22,5 triliun.

 

Harga minyak

Tahap kedua yang dipangkas adalah aneka belanja, dengan target penghematan senilai Rp 28,2 triliun. Pos belanja yang masuk di sini adalah pemeliharaan maupun pengadaan peralatan kantor, belanja iklan, belanja modal noninfrastruktur, serta kendaraan operasional maupun kendaraan dinas K/L.

Dengan lemahnya belanja pemerintah tahun ini, peran pendorong pertumbuhan ekonomi bakal jatuh ke konsumsi masyarakat. “Itu yang satu-satunya bisa diperngaruhi langsung oleh pemerintah,” tutur Lana Soelistianingsih, ekonom dari Samuel Asset Management.

Dua komponen pertumbuhan yang lain, yaitu investasi dan ekspor memang sangat bergantung pada suhu ekonomi global. Memang, berbagai kebijakan pemerintah yang termuat dalam belasan paket ekonomi bisa membuat iklim investasi di sini menjadi lebih nyaman.

Namun baik Lana maupun David menilai berbagai kebijakan yang diresepkan tim ekonomi Jokowi belum berdampak. “Kebijakan belum sampai ke level teknis. Dan efek dari kebijakan itu tentu bergantung pada pengusaha yang masih bersikap wait and see karena ekonomi global lambat,” tutur Lana. David mencontohkan pemberian diskon tarif listrik dan gas sebagai kebijakan yang tak kunjung bergulir.

Situasi setali tiga uang terjadi di sektor ekspor-impor. Ekonomi global yang masih berjalan pelan mengakibatkan permintaan terhadap komoditas ekspor yang diandalkan negeri ini, semacam minyak sawit mentah (CPO) dan batubara, tidak beringsut.

Memang, harga komoditas di pasar dunia mulai bergerak. Harga minyak mentah, yang selalu menarik harga berbagai komoditas kini mendekati kisaran US$ 50 per barel.

Tren harga komoditas yang mulai bergerak naik itu, dalam penilaian Lana, tak akan berdampak terhadap nilai ekspor Indonesia dalam waktu dekat. Yang justru bisa terkena buntut kenaikan harga komoditas dalam waktu dekat adalah inflasi.

Jika kenaikannya tinggi dan bertahan lama, harga minyak di pasar dunia akan menyeret naik kembali harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Kenaikan harga BBM di sini biasanya akan berbuntut pada kenaikan harga berbagai barang dan jasa. “Karena itu perlu dicermati,” tutur Lana.

Laju inflasi perlu dikendalikan dengan baik karena konsumsi masyarakat lah yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. “Jika pemerintah ingin target pertumbuhan di atas 5% tercapai, kuncinya adalah menjadi konsumsi rumah tangga dengan menjaga harga dan daya beli,” tutur Lana.

Hingga April lalu, inflasi memang berjalan pelan. Bahkan, jika dihitung dengan basis bulanan, terjadi deflasi di bulan April sebesar 0,45%. Jika dihitung selama empat bulan pertama, inflasi baru 0,16%.

Agar daya beli semakin oke, baik Lana maupun David menyarankan pemerintah merancang insentif. “Pemerintah bisa memberi diskon pajak ke konsumen. Kalau kenaikan penghasilan tak kena pajak iu yang menikmati bukan masyarakat, tapi perusahaan yang menggaji,” tutur Lana.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar