Jakarta. Tak kunjung mendapat kabar baik soal pelonggaran aturan sektor perikanan dan kenaikan tarif sewa lahan di Muara Baru, Jakarta Utara, pelaku industri di kawasan itu mengancam bakal menghentikan operasi per 10 Oktober nanti.
Penghentian aktivitas di Muara Baru disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, belum ada pelonggaran Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 57 tahun 2014 tentang larangan transhipment. Aturan itu menyebabkan aktivitas bongkar muat di tengah laut susah.
Pelarangan transhipment di tengah laut membuat pelaku usaha menanggung rugi karena harus bolak-balik kedaratan untuk bongkar ikan hasil tangkapan. Sekedar informasi, kebanyakan ikan yang ditangkap adalah tuna. Khusus tuna segar ekspor, waktu maksimal untuk dipindahkan setelah ditangkap adalah 15 hari.
Rencananya, Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru juga bakal melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan terhadap Permen KKP ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Utara.
Kedua, penghentian operasi perusahaan di Muara Baru dipicu oleh kenaikan sewa lahan yang dianggap tidak masuk akal. Soalnya kenaikannya sebesar 560% dari tarif sewa awal yang hanya Rp 236 juta per hektare (ha) per tahun. Selain itu, jangka waktu penyewaan dibatasi hanya selama lima tahun. Sebelumnya, pelaku industri dapat menyewa sampai 20 tahun.
Dengan berhentinya seluruh aktivitas tersebut artinya, dalam jangka waktu sebulan aktivitas di kawasan Muara Baru yang dikenal sebagai kawasan industri perikanan dan penangkapan bakal lumpuh. Tidak akan ada aktivitas bongkar muat ikan, pengolahan ikan untuk pasar lokal dan ekspor, serta tidak ada penambatan kapal di pelabuhan Muara Baru. “Jika penghentian operasi kapal selama sebulan saja, pabrik pengolahan akan berhenti seminggu,” tutur James Then, Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nasional (HNPN).
Izin kapal berbelit
Asal tahu saja, di Muara Baru, ada 60 perusahaan yang di bidang pengolahan dan cold storge, serta sekitar 1.600 unit kapal tangkap. Kebanyakan kapal berukuran di atas 30 GT dan melaut di atas 12 mil. “Dengan penghentian ini, Negara bakal kehilangan devisa sebesar US$ 50 juta per bulan,” kata James, Rabu (5/10).
Ketiga, aturan lain yang memberatkan pengusaha perikanan adalah kewajiban pengukuran kembali badan kapal. Rizal, Anggota Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) mengaku, proses pengukuran badan kapal dan pengeluaran dokumen perizinan terlalu lama dan berbiaya tinggi. “Proses surat izinnya lama sekali, sampai kami diminta menunjukkan surat pelaporan pajak (SPT). Padahal seharusnya untuk mengecek apakah kami sudah bayar pajak bisa ke Dirjen Pajak,” katanya.
Pembatasan ukuran kapal maksimal 150 gross ton (GT) juga dianggap tak masuk akal. Sebab, saat ini, Negara-negara lain sudah menggunakan kapal diatas 500 GT untuk beroperasi di laut lepas. Bila ini tetap diteruskan, peluang Indonesia mendapatkan ikan lebih banyak hilang dan diambil oleh Negara lain.
Pengusaha berharap Presiden Joko Widodo segera turun tangan. Upaya berdialog dengan Menteri KKP Susi untuk mengadukan nasib tak mendapatkan tanggapan positif. Bahkan, mereka juga sudah datang berkonsultasi dengan Menko Maritim Luhut.
Menanggapi rencana itu, susi minta pengusaha dan pemilik kapal lokal tak ikut melakukan aksi mogok. “Kami menghimbau agar pengusaha dan pemilik kapal lokal tidak mengikuti aksi mogok,” ujarnya. Ia menduga, aksi protes dilakukan oleh pemilik kapal Thailand.
Penulis: Tri Sulistiowati
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar