Tidak ada banyak waktu lagi untuk membenahi sektor minyak dan gas (migas). Sedikit saja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlena dan berleha-leha, masalah yang sudah dihadapi sekarang bakal kian membesar.
Di hulu, ancamann terbesar datang dari cadangan migas yang cenderung stagnan akibat kegiataneksplorasi yang minim. Catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi kegiatan survei seismik dan pengeboran eksplorasi hingga separuh tahun 2016 sangat jauuh dari target.
Survei seismik dua dimensi baru tercapai 9,65% dari target 10.955 kilometer (km). Survei seismik tiga dimensi Cuma 7,71% dari target 11.217 km₂. Pengeboran eksplorasi Cuma 23 sumur dari rencana 68 sumur. “Pada 2012-2016 eksplorasi kita sangat minim. Tentu kita harus punya rencana bagaimana agar bisa ditingkatkan lagi, kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.
Minimnya eksplorasi ladang baru arena berbagai persoalan, terutama terkait ketiadaan insentif fiskal, biaya eksplorasi yang terlalu mahal, dan harga minyak yang murah. Dampaknya, dalam 10 tahunn ke depan cadangan migas Indonesia akan habis terkuras. “Kita sudah menjadi net importir minyak. Untuk gas sebentar lagi kita juga jadi net importir, “kata Moshe Rizal Husin, Ketua Komite Unconventional Hydrocarbon Indonesian Petroleum Association.
Dus, pemerintah merancang umpan lewat revisi PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Perpajakan Bagi Industri Hulu Migas. Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM pun telah bersepakat memberikan berbagai relaksasi yang diumumkan pada 23 September 2016. Tanpa menyebutkan kapan waktu tepatnya, Arcandra menjanjikan dalam waktu dekat beleid tersebut sudah bisa ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Misalnya, pemerintah akan memberikan berbagai keudahan fiskal semisal PPN Impor, bea masuk, PPN dalam negeri pada masa eksplorasi dan eksploitasi. Lalu pembebasan PPh cost sharing pemanfaatan Barang Milik Negara. Juga soal kejelasan fasilitas non fiskal berupa kredit investasi, depresiasi dipercepat, (Domestic Market Obligation (DMO) Holiday. “Diharapkan sektor hulu minyak dan gas lebih atraktif sehingga akan muncul investasi baru yang pada akhirnyya menaikkan produksi minyak di Indonesia, “kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Moshe mengapresiasi langkah pemerintah. Menurutnya, tingkat kesuksesan menemukan cadangan migas yang ekonomi di Indonesia hanya sekitar 40%. Lokasinya pun sudah bergeser ke laut dalam yang membutuhkan investasi besar. Dus, relaksasi beraneka ragam pajak tadi membuat peluang investor kembali berpaling ke Indonesia lebih besar.
Kurang solutif
Namun, Komaidi Notonegoro menilai stimulus yang tengah direncanakan pemerintah belum menjawab akar persoalan yang dihadapi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas. PP omor 79 tahun 2010 bukanlah turunan UU Migas melainkan aturan pelaksana UU PPh. Praktis yang bisa diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). “PMK ini rentan karena sewaktu-waktu bisa diubah berdasarkan adjustment tertentu, terutama keuangan negara. Tahun ini bisa dikasih, tahun depan bisa dicabut, “terang Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu.
Kondisi ini tak lepas dari ketentuan di UU igas yang memang menyebut soal perpajakan di Industri migas mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Bukan diatur secara khusus (lex specialis) seperti rezim UU Migas sebelumnya.
Dus, perbaikan industri migas yang komprehensif, termasuk penyesuaian dengan kondisi migas terkini, hanya bisa diselesaikan lewat revisi UU Migas. Nahasnya, meski sudah diamanatkan panitia hak angket DPR terkait harga Bahan Bakar Minyak sejak tahun 2008 silam, revisi regulasi ini malah jalan di tempat.
Padahal DPR sendiri yang sebenarnya mengambil hak inisiasi UU Migas. “Sekitar 25% ketentuan di UU Migas sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan diamanatkan untuk direvisi. Enggak pantas sektor yang dibilang strategis malah pakai baju yang compang-camping, “kecamKomaidi.
Sayangnya, memang kurang pas berharap DPR mau bergerak cepat. DPR baru pada tahap pembahasan rancangan revisi UU Migas. Itu pun belum sampai separuh yang dibahas dari rencana sekitar 111 pasal. “Pembahasan baru sampai pasal 30-an. Masih sekitar 80-an lagi, “kata Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto.
Dito beralasan, DPR membutuhkan waktu lama lantaran berhati-hati agar UU yang dihasilkan tidak kemballi berujung di MK. Selain itupihaknya juga harus menyesuaikan dengan kondisi sektor migas terkinidan mengantisipasiperkembangan di masa mendatang. “Tahun ini enggak akan beres. Mungkin tahun depan baru selesai, “imbuhnya.
Sikap DPR ini jelas tak menguntungkan bagi pemerintah. Rata-rata masa eksplorasi di Indonesia membutuhkkan waktu diatas 10 tahun. Lalu ditambah dengan rata-rata empat tahun masa plan of development (POD). Jadi, paling tidak butuh waktu 14 tahun sampai sebuah ladang eksplorasi migas bisa berproduksi.
Di sisi lain, asumsi yang kini berkembang dalam 10 tahun ke depan cadangan migas di Indonesia bakal habis. Data SKK Migas menyebut, hingga 2020 tidak ada proyek POD minyak skala besar yang masuk tahap operasi. Sampai tahun 2026 da sekitar 35 wilayah kerja yang berakhir masa Production Sharing Contract (PSC).
Masak makin kesini makin jadi republik impor, ya!
Penulis:Tedy Gumilar, Andri I, Febrina Ratna I, Arsy A, Sucianingsih
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar