BI Atur Pendanaan Jangka Pendek

images

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) segera menerbitkan peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang surat berharga komersial (SBK) atau commercial paper. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, aturan tersebut diharapkan bisa memudahkan korporasi dalam mencari pendanaan jangka pendek.

Sebenarnya Indonesia mengenal SBK sejak 1995. Namun, karena terpaan krisis moneter 1998, lenyap pula kepercayaan investor untuk membeli instrumen tersebut. SBK merupakan surat berharga jangka pendek yang diterbitkan korporasi. Pelaku pasar di luar negeri biasanya menerbitkan SBK untuk tenor 270 hari. Sedangkan aturan yang akan dibuat BI berkaitan dengan penerbitan SBK dengan tenor 360 hari atau satu tahun.

”Korporasi juga bisa dapat dari PUAB (pasar uang antarbank, Red). Maka, dengan adanya PBI commercial paper ini nanti, korporasi nonbank bisa dapat pendanaan jangka pendek,” ujarnya di gedung BI kemarin (24/10).

Dia mengatakan, instrumen pasar uang di Indonesia masih sangat dangkal. Sedangkan kebutuhan korporasi dan lembaga keuangan nonbank dalam mencari pendanaan cukup besar. ”Jadi, yang masalah adalah di negeri kita ini instrumen jangka pendek tidak tersedia yang likuid. Atau, yang tersedia baru sedikit,” imbuhnya. Korporasi biasa membutuhkan pendanaan jangka pendek untuk memenuhi persediaan atau modal kerja.

Kebutuhan untuk modal kerja masih banyak. Sebanyak 30–40 persen dari Rp4.000 triliun pinjaman perbankan merupakan kredit modal kerja. Di sisi lain, likuiditas di dalam negeri yang masih kembali ke bank sentral sebesar Rp300 triliun hingga Rp350 triliun. Dana tersebut merupakan aset likuid bank yang tidak ditempatkan di kredit. Rata-rata diperuntukkan sebagai likuiditas untuk nasabah menarik dana.

Dia melanjutkan, pemerintah sebenarnya memanfaatkan instrumen jangka pendek yang ada. Namun, instrumen tersebut belum cukup. ”Jadi, bagi kami di BI, ironi kalau kita melihat negeri masih perlu pendanaan dari luar negeri, tapi masih ada likuiditas yang kembali ke BI,” katanya.

Di sisi lain, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang kemarin menggelar rapat rutin triwulan menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi domestik cukup terkendali. Menkeu Sri Mulyani Indrawati seusai rapat Forum KSSK di gedung Kemenkeu kemarin mengatakan, stabilitas tersebut didukung, antara lain, menurunnya tekanan terhadap nilai tukar.

Juga membaiknya kinerja fiskal sebagai dampak rasionalisasi belanja dan implementasi program amnesti pajak tahap pertama. ”Juga membaiknya kinerja pasar saham serta kondisi lembaga keuangan yang masih terjaga dengan baik,” paparnya.

Meski begitu, Sri Mulyani menuturkan bahwa stabilitas sistem keuangan Indonesia masih dibayangi beberapa faktor eksternal terkait dengan kondisi ekonomi global yang belum membaik. Di antaranya, antisipasi kredit macet hingga dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.

Selain itu, rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) pada 2016 mengakibatkan tekanan pada pasar modal dan pasar surat berharga negara (SBN). Dari sisi domestik, terang Sri Mulyani, ada beberapa kondisi internal yang patut diwaspadai.

Salah satunya, intermediasi lembaga jasa keuangan yang dipengaruhi pertumbuhan ekonomi yang mengalami tekanan dari pelemahan perdagangan internasional dan rendahnya harga komoditas.

Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menambahkan, pertumbuhan kredit hingga semester pertama tahun ini masih berada dalam tren menurun. BI memandang penurunan tersebut sejalan dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

”Perbankan juga lebih hati-hati karena NPL (nonperforming loan) meningkat,” ujarnya.

Sumber: RADARTEGAL

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar