Awas, Cukai Plastik Bikin Inflasi Meroket

47712-katashare-com2b-2bbpa252c2bzat2bberbahaya2bpada2bkemasan2bplastik

Pengenaan cukai plastik pada kemasan produk mamin (makanan dan minuman) akan berdampak pada naiknya harga jual produk. Ujungnya, daya beli konsumen bisa merosot dan inflasi meroket.

Ketua Umum Gabungan Pen­gusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, melihat dampak yang ditimpulkan, pengusaha menolak tegas pengenaan cukai plastik tersebut. Selain menaik­kan angka inflasi, pengenaan cukai plastik juga akan me­lemahkan daya saing industri dalam negeri.

“Kebijakan cukai plastik tidak tepat. Daya saing kita melemah, negara lain tidak kenakan cukai plastik, di Indonesia malah dikenakan,” ujar Adhi di Jakarta, kemarin.

Menurut Adhi, isu pencemaran lingkungan terkait pengenaan cukai plastik juga tidak dapat di­terima. Sebab, sampah kemasan dari produk makanan dan minu­man sudah dapat didaur ulang. Selain itu, telah ada industri daur ulang di Indonesia.

Penolakan juga disampaikan oleh Sekjen Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas) Fajar Budiono. Menu­rut dia, pengenaan cukai plastik khususnya kantong kresek hanya akan menguntungkan importir saja. Sebaliknya, industri lokal akan mati.

“Industri plastik memiliki karakteristik yang sangat ber­beda. Turunannya sangat ban­yak, sehingga kalau dikenakan cukai dampaknya justru akan merugikan,” ujarnya.

Fajar mengingatkan, dampak dari kebijakan ini akan sangat dirasakan industri makanan dan minuman (mamin). Sebab, ham­pir 65 persen industri mamin menggunakan produk plastik.

Menurutnya, jika target dari pemerintah memberlakukan cu­kai plastik untuk meningkatkan pendapatan negara dari cukai, juga dinilai tidak tepat. Sebab, percuma saja kalau potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) juga hilang akibat kebijakan tersebut.

Fajar mengatakan, Inaplas pernah menghitung kalau cukai dapat dihimpun Rp 1,2 triliun, maka di sisi lain potensi PPN dan PPh yang hilang diper­kirakan bisa mencapai Rp 1,9 triliun, berarti pemerintah justru kehilangan potensi pendapatan Rp 700 miliar.

“Kerugian itu disebabkan, banyak industri ikutan dari plas­tik yang ikut gulung tikar, atau kehilangan potensi penjualannya sebagai akibat dari kebijakan tersebut,” ucapnya.

Fajar menambahkan, kalau­pun disebut alasan mengenakan cukai terhadap produk plastik karena dianggap sebagai pe­nyebab kerusakan lingkungan. Hal tersebut juga tidak sepenuh­nya benar.

“Sampah plastik ,merupakan satu-satunya produk yang sebe­narnya lebih mudah untuk didaur ulang dibandingkan sampah lainnya, bahkan biayanya juga lebih kecil,” jelas Fajar.

Persoalannya, kata Fajar, manajemen sampah di Indo­nesia sangat lemah. Sehingga, masyarakat lebih suka mem­buang sampah plastik di sem­barang tempat ketimbang men­gumpulkannya untuk kemudian di daur ulang.

Menurutnya, beberapa negara tidak mengenakan cukai terh­adap produk plastik. “Mereka akan mengenakan denda yang cukup tinggi bagi masyarakat yang membuang sampah sem­barangan, serta tidak memisah-misahkan sampah plastik dengan sampah lainnya,” ungkapnya.

Fajar juga mengkhawatirkan jika kebijakan cukai itu sampai diberlakukan, yang akan terjadi adalah penyelundupan produk plastik akan marak. Apalagi, pengawasan barang masuk dari luar negeri sangat lemah.

“Selain karena terdiri banyak kepulauan, juga pengawasan­nya masih lemah. Kalau sampai diserbu produk plastik dari luar, maka yang terkena dampak­nya industri plastik di hilir,” ujarnya.

Terkait hal tersebut, Fajar meminta pemerintah tidak ter­buru-buru mengeluarkan ke­bijakan tersebut. “Pemerintah harus memperhatikan dampak buruknya bagi industri di dalam negeri,” tukasnya.

Sebelumnya, Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) yang terdiri dari 17 gabun­gan asosiasi menolak wacana pengenaan cukai atas plastik kemasan.

Perwakilan FLAIPP Rachmat Hidayat mengatakan, berdasar­kan hasil penelitian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia 2016 menunjukkan, pengenaan cukai plastik ke­masan dengan skema pengenaan cukai terhadap gelas plastik sebesar Rp 50 dan botol plastik sebesar Rp 200 akan merugikan negara hingga Rp 528 miliar per tahun.

Hal ini, lanjutnya, berdasar­kan simulasi bahwa negara akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,91 triliun per tahun dari pendapatan cukai baru, namun di sisi lain justru akan kehilangan penerimaan hingga mencapai Rp 2,44 triliun.

Untuk diketahui, dalam Ang­garan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pemer­intah mematok inflasi diangka 4 persen. Sementara inflasi tahun lalu sekitar 3,02 persen.

Sumber: RMOL.co

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar