Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga menjabat erat tangan Ibrahim bin Abdulaziz Al-Assaf. Lalu mereka saling menukar dokumen kerjasama yang sudah ditandatangani. Presiden Joko Widodo dan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud bertepuk tangan kecil menyaksikan seremoni itu.
Dokumen yang baru ditanda tangani Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan koleganya yang menjabat sebagai menteri negara dan anggota cabinet di pemerintahan Kerajaan Arab Saudi, itu terkait program kerjasama pengembangan UKM Indonesia dengan Arab Saudi, salah satunya menyediakan informasi, peluang peluang dan dukungan untuk UKM dalam mengakses pasar di kedua negara.
Penestrasi UKM ke pasar ekspor memang menjadi fokus bagi kedua negara. Arab Saudi dalam cetak biru transformasi ekonomi jangka panjang yang disebut Vision 2030 memasukkan UKM sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi negara gurun pasir itu. Targetnya, menaikan konstribusi UKM terhadap PDB dari 20% menadi 35%.
Tidak aneh jika Indonesi bukan menjadi negara pertama yang menjalin kerjasama sektor UKM dengan Saudi. Pada 1 September 2016, Otoritas UKM Saudi dan Badan UKM Jepang juga menandatangani kerjasama serupa.
Ini salah satu upaya Arab Saudi melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak. Tujuan besarnya pada 2030 konstribusi ekspor non migas terhadap PDB bia naik dari 16% menjadi 50%.
Meski targetnya tidak sama persis, Indonesi lebih percaya diri ketimbang Arab Saudi. Tahun 2019, lewat berbagai pembenahan pemerintah menargetkan kontribusi ekspor pengusaha kecil dan menengah dapat meningkat menjadi 30-40%. Saat ini kontribusinya Cuma sekitar 16% dari total ekspor non migas.
Sebulan sebelum raja Salman dan rombongannya singgah ke Indonesia, pada 30 Januari 2017 Jokowi menyambangi Desa Tumng di Boyolali Jawa Tengah. Di Sentra kerajinan dari logam, itu ia meresmikian program Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Bagi Industri Kecil Menengah (KITE IKM).
Butuh waktu hampir dua tahun untuk menelurkan program yang sudah digadang-gadang di paket kebijakan ekonomi jilid I sejak 2015 lalu, Padahal, kebijakan ini hanya menduplikasi fasilitas yang sebelumnya sudah diberikan kepada para pengusaha skala besar.
Robi Toni, Direktur Kepabeanan Direktorat Jendral Be dan Cukai Kementerian Keuangan mengklaim, Kebijakan ini bisa memangkas biaya produksi pelaku usaha 20% hingga 25%. Sumbernya berasal dari bea masuk yang tidak perlu dibayar sebesar rata-rata 5% dan pembebasan pajak impor sebesar 10%.
Hilangnya hambatan fiskal ini membuka peluang bagi pelaku usaha untuk mengimpor bahan baku sendiri tanpa lewat distributor. Dari rantai ini ada tambahan pengematan lagi antara 5-10%.
Kenyataannya, UKM-UKM yang mendapat fasilitas ini memang bisa berhemat cukup banyak. Reza Noegraha, Manajer Pengembangan Bisnis PT Espreite Nomade mengaku, pada impor perdana tahun ini perusahaannya bisa menghemat biaya hingga Rp 53,64 juta.
Esprite Nomade yag berbasis di Ubud, Bali mengimpor kain sebagai bahan baku produk jadi berupa furniture dan tekstil. Sekitar 22 UKM lain dari berbagai daerah, seperti Boyolali, Pekalongan , Surakarta dan Jogjakarta, Semarang dan Mataram juga bisa berhemat cukup besar berkat fasilitas ini.
Namun target kontribusi ekspor pengusaha kecil dan menengah hingga 30-40% tidak bisa dicapai hanya dengan perbaikan sisi fiskal. Pemerintah masih punya pekerjaan besar untuk membereskan banyak persoalan lain.
Misalnya, pembiayaan ekspor berbunga murah untuk eksportir skala UMKM. Pemerintah sudah merilis program KURBE lewat paket kebijakan ekonomi jilid XI tahun lalu. Tapi program ini berjalan tersendat sendat lantaran dukungan pemerintah sendiri yang belum makimal.
Pengucuran KURBE ditugaskan kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atawa Eximbank. Bunganya dipatok Cuma 9%. Meski menggiurkan bagi pelaku usaha, realisasi program ini masih jauh dari target yang dipatok sebelumnya.
Mohammad Rudy Salahuddin menyebut, hingga 31 Desember 2016 realisasi penyaluran KURBE oleh LPEI baru mencapai Rp 188,325 miliar, Artinya cuma 18,13% dari target penyaluran KURBE sebesar Rp 1 triliun.
Deputi Menteri Koordinator Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan daya saing koperasi dan UKM itu beralasan, rendahnya aliasi yang rendah lantaran KURBE baru diluncurkan pada pertengahan tahun 2016 sehingga belum berjalan maksimal. Selain itu, “Kendala utamanya masih kurang informasi, khususnya bagi pelaku UKM di daerah luar Jawa,” kata Rudy.
Raharjo Adisusanto, Direktur pelaksana Eximbank menyebut, pihaknya jelas mendukung penuh program pemerintah ini. Eximbank bahkan memfasilitasi UKM yang benar berpotensi mulai dari nol hingga berhasil mengekspor produk bikinannya lewat program khusus rintisan eksportir baru.
Namun, rendahnya realisasi pengucuran KURBE juga tidak lepas dari keterbatasan Eximbank sendiri. Berbeda dengan KUR yang lain, sumber KURBE dibebankan kepada Eximbank tanpa subsidi dari pemerintah. “KURBE sumbernya dana komersial dari pasar dan ekuitas Eximbank. Kami tentunya akan terus mendukung. Tapi memang ada keterbatasan di sisi pendanaan ini,” kata Raharjo.
Belakangan, pemerintah tengah berupaya agar Eximbank bisa menjadi salah satu penyalur KUR, supaya jangkauan dan nilai penyaluran KURBE bisa lebih besar lagi,” Sekarang sedang diproses. Kalau ditunjuk , kami akan dengan senang hati menerima” kata Raharjo.
Sumber: Harian Kontan, Senin, 6 Maret 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar