Tak Lalu Buka-bukaan Meski Sudah Terbuka

Akses data perbankan WNI tetap dikunci

Itu beneran data nasabah bisa diakses Ditjen Pajak? Bukannya ada UU Kerahasiaan Perbankan? Data kita bisa dilihat sama orang pajak dunk? Begitu pertanyaan yang muncul di beberapa forum internet dan grup Whatsapp.

Berita soal kewajiban pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEOI) rupanya telah membuat sebagian orang cemas. Apalagi, pada saat bersamaan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak juga meluncurkan Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank atau Akasia.

Pemberlakuan AEOI sejatinya memang terkait dengan penerapan Akasia. Sebab, Akasia memang dimaksudkan untuk mempercepat proses permintaan informasi dan data perbankan oleh Ditjen Pajak. Aplikasi berbasis teknologi informasi memang diperlukan ketika AEOI mulai berlaku tahun ini.

AEOI sebenarnya adalah fitur dalam kesepakatan Country-by-Country Multilateral Competent Authority Agreement (CBC MCAA). CBC MCAA adalah perjanjian kerjasama multilateral pertukaran informasi antar dinas perpajakan tiap negara. Dasar MCAA adalah Konvensi Asistensi Timbal Balik dalam Masalah Pajak atau Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters.

Inti poin konvensi dan kesepakatan ini adalah pertukaran informasi keuangan dan data aset wajib pajak perseorangan maupun perusahaan yang memiliki usaha atau aset di luar negeri. Adapun tujuan kesepakatan dan konvensi adalah memerangi upaya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion) lintas batas yang dilakukan perusahaan maupun individu.

Ini adalah ikhtiar yang dirancang Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan forum kerja sama 20 negara berekonomi terbesar di dunia (G20), sejak bertahun-tahun lalu. Indonesia adalah salah satu dadri 82 negara peneken kesepakatan dan konvensi tersebut dan sudah harus menjalankan ketentuan AEOI paling lambat September 2018.

MCAA sendiri diilhami munculnya Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang disahkan 2010. Ini adalah Undang-Undang (UU) Amerika Serikat (AS) yang mengharuskan institusi keuangan di semua negara untuk membuka informasi aset keuangan setiap warga negara dan perusahaan AS.

Pemerintah AS menerapkan sanksi bagi institusi keuangan di suatu negara yang tidak mau bekerjasama melaporkan informasi aset nasabahnya kepada pemerintah AS. Sanksinya, atas setiap pembayaran atau transfer dari AS kepada institusi keuangan tersebut akan dipotong 30% dari nilai pembayaran.

Aksi unilateral Pemerintah AS ini mendorong G20 dan OECD untuk juga memiliki mekanisme akses informasi perpajakan ke negara lain. Caranya dengan meminta negara-negara saling bertukar informasi. “Karena ini masalah global,” kata Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak John Hutagaol.

Ketentuan regulasi yang selama ini kerap menjadi lubang persembunyian wajib pajak nakal juga dipangkas. Yang dianggap sebagai tempat sembunyi utama, apalagi kalau bukan ketentuan kerahasiaan perbankan dan lembaga keuangan.

Masih Rahasia

Di Indonesia, ini jadi masalah khusus. Sebab, UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan memuat aturan soal kerahasiaan bank. Pasal 1 Angka 28 UU tersebut menyatakan dengan tegas bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan nasabah penyimpanan dan simpanannya wajib dirahasiakan bank. UU bahkan mengatur secara khusus sanksinya apabila data nasabah bocor.

Tak Cuma UU Perbankan. UU Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal juga mengatur khusus soal kerahasiaan data nasabah. UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) juga mengatur aspek permintaan data nasabah.

Cuma, dengan kewajiban implementasi MCAA dan FATCA, data nasabah tersebut harus dibuka. Awalnya, pemerintah berniat memasukkan ketentuan ini dalam revisi UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, dan UU Pasar Modal.

Problemnya, merevisi beberapa UU sekaligus jelas butuh waktu lama. Biktinya, beberapa UU seperti UU KUP yang sudah masuk daftar Progran Legislasi Nasional 2017, proses revisi tak juga mengalami kemajuan. Makanya, pemerintah memutuskan merancang Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) sebagai payung hukum guna mengakomodasi pelaksanaan AEOI dan FATCA.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly, sebenarnya tenggat waktu implementasi AEOI masih tahun depan. Cuma, Mei 2017 nanti, akan ada pertemuan monitoring progress dari OECD untuk mengawasi tahapan implementasi dari setiap Negara. Pemerintah ingin April 2017 ini, Negara kita sudah meratifikasi ketentuan AEOI sehingga langsung bisa bertukar informasi dengan Negara lain.

Dari informasi yang diperoleh KONTAN, ada beberapa poin ketentuan dalam Perppu itu. Pertama, soal jenis data dan informasi nasabah yang bisa ditukarkan. Dalam hal ini, Perppu akan mengacu ke definisi AEOI yakni proses pertukaran informasi secara sistematis dan berkala yang meliputi berbagai kategori penghasilan. Dalam konteks data nasabah institusi keuangan, ini berarti meliputi segala informasi terkait saldo rekening, data transaksi, debet dan kredit, termasuk transfer.

Kedua, Preppu akan mengatur standar pelaporan. Regulasi AEOI yang ditetapkan OECD mengatur standar pelaporan yang disebut Common Reporting Standard (CRS). Ini adalah form khusus yang digunakan dalam pelaporan data dan informasi yang bentuknya sama untuk setiap Negara sehingga mudah untuk dibandingkan.

Ketiga, Perppu akan mengatur mekanisme pertukaran dan pembukaaan  informasi. Kabarnya, di poin ini terjadi perebatan yang alot. Sebagian pihak menginginkan mekanisme pembukaan informasi nasabah tak lagi memerlukan persyaratan permintaan khusus.

Selama ini, sesuai ketentuan UU KUP, Ditjen Pajak hanya bisa mengakses data perbankan hanya jika ada proses pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak terhadap wajib pajak tertentu. Mekanismenya juga harus lewat Menteri Keuangan yang nanti akan meneruskan permintaan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Untuk bisa memperoleh data nasabah di institusi keuangan, Ditjen Pajak dan Kementerian Kuangan juga harus terlebih dulu menyebutkan nama nasabah yang datanya diinginkan, bank mana yang dituju, serta nomor rekening yang datanya ingin dibuka. “ini memang diatur dalam UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, dan UU Pasar Modal,” kata Pengamat Perpajakan Darussalam.

Proses permintaan data nasabah ini juga memakan waktu yang tak sedikit. Setidaknyaa butuh minimal 239 hari atau hampir setahun untuk bisa memperoleh data tersebut.

Makanya, sebagai pihak di pemerintahan menginginkan mekanisme akses data nasabah bisa dilakukan secara lebih mudah sesuai skema AEOI.

Mekanisme pertukaran informasi secara otomatis yang diatur dalam AEOI memang meminta pembukaan akses informasi yang tidak terbatas dan berkeseinambungan oleh otoritas pajak. Dapat mengakses data nasabah secara berkala tanpa perlu ada dasar proses pemeriksaan , penyidikan , dan penagihan pajak terhadap suatu wajib pajak tertentu.

Otoritas pajak juga tak perlu menunjukan terlebih dulu nomor rekening dari nasabah yang hendak dimintakan data nya. Cukup menunjukan nama nasabah yang datanya ingin di buka informasinya. Dan yang tidak kalah penting, tidak perlu melampirkan permintaan ke Mentrian Keuangan atau OJK.

Tetapi, sebagai pihak di pemerintah tak setuju dengan mekanisme pembukaan data nasabah model MCAA tersebut untuk warga negara Indonesia (WNI). Sebab, pertukaran informasi sebenernya bertujuan agar setiap negara bisa mengetahui aset wajib pajak mereka yang ada di negara lain.

Karena itu, data yang diperuntukan sesungguhnya adalah data warga negara asing yang ada di uatu institusi keuangan suatu negara.

Indonesia misalnya, menginformasikan data aset warga negara asing yang disampaikan di indonesia. Dan sebaliknya, negara lain memberikan informasi keuangan warga warga negara indonesia yang ada di negara tersebut.dengan kata lain, pertukaran informasi lewat AEOI hanya mengatur pembukaan data aset warga negara asing (WNA)

Menurut Jhon, mekamekanisme AEOI dan FATCA memang hanya berlaku untuk WNA yang menyimpan dana di lembaga keuangan indonesia. Lewat pertukaran informasi, ditjen pajak akan bisa memperoleh informasi aset wajib pajak WNI yang ada di negara lain.

Data yang dikirim negara lain ini akan digunakan untuk melakukan pemeriksaan atau cross check terhadap kewajiban perpajakan dan kewajiban pelaporan harta. Harapannya, dengan pertukaran data otomatis ini, maka WNI yang masih menyimpan asetnya diluar negri terdorong untuk mendorong repatriasi asetnya. Apalagi pemerintah memang masih berusaha menggenjot penerimaan dari program tax amnesty.

Lantas Bagaimana dengan data nasabah WNI yang ada di institusi keuangan dalam negeri? Data ini akan tetap terkunci. Dalam artian, tetap perlu mekanisme izin mentri keuangan dan ojk dan persyaratan lainnya yang diatur dalam UU.

Bedanya, sekarang lewat sistem aplikasi usulan buka rahasia bank (Akasia), proses permintaan pembukaan data nasabah tak butuh waktu sekitar 30 hari saja. Akasia akan bersinergi dengan sistem OJK yang bernama Aplikasi Buka rahasia bank (Akrab).

OJK juga telah mengembangkan sistem penyampaian nasabah asing (Sipina) sebagai sarana pembukuan informasi ke uangan nasabah asing. “sistem ini sudah selesai akhir 2016,” ujar muliaman d hadad , ketua dewan komisioner OJK.

Meski sudah terbuka ternyata tak berarti buka bukaan.

Sumber: Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar