
Negosiasi dengan Freeport bisa terganjal di poin jaminan investasi dan divestasi saham.
Dua cangkir kopi,satu gelas berisi permen, dan dua bendera kecil Indonesia dan Amerika Serikat (AS) mengisi meja mungil yang memisahkan Duta Besar AS Joseph Donovan dan Menteri Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, pertengahan Maret lalu.
Isi pertemuan itu, selain membahas rencana kunjungan Wakil Presiden AS Mike Pence ke Indonesia bulan ini, juga membahas masalah keamanan di Indonesia terkait pemilihan kepala daerah di Jakarta dan masalah Freeport di Papua.
Ini bukan kali pertama Donovan beranjangsana ke pejabat Indonesia untuk membahas masalah Freeport. Awal Maret lalu, pria yang lama bertugas di Taiwan tersebut juga berkunjung ke Papua. Di Jayapura, ia menemui Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw dan Gubernur Papua Lukas Enembe.
Kondisi keamanan di Papua memang sedang ganas. Akhir Maret 2017 misalnya, ratusan karyawan PT Freeport Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) mengancam akan menutup kantor Pemerintahan Kabupaten Mimika dan bandara Mozes Kilangin di Mimika.
GSPF menutut pemerintah Indonesia untuk membuka kembali izin ekspor mineral PT Freeport Indonesia. Sejak 12 Januari 2017, Freeport memang tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga, emas dan perak. Akibatnya, aktivitas produksi perusahaan turun 80% dari kapasitas terpasang.
Pelarangan ini adalah amanat Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4/2009. Beleid itu mewajibkan pengolahan dan pemurnian mineral ekspor di dalam negeri.
Tujuan beleid yang disusun saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu adalah untuk meningkatkan nilai tambah ekspor mineral. Pemerintah berniat mengembangkan industri hilir mineral lewat penciptaan nilai tambah komoditas ekspor.
Caranya, pemerintah memaksakan program penghiliran guna mempercepat peningkatan nilai tambah pertambangan lewat ketentuan larangan ekspor mineral mentah. Cuma, realisasi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.
Dari sekitar puluhan ribu pemegang Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) misalnya, hanya ratusan pemegang IUP yang mengajukan proposal dan rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral yang lazim disebut smelter.
Merasa mentok, pemerintah SBY lantas memundurkan larangan total ekspor mineral mentah dari 2014 ke 2017. Pemerintah membuka pintu ekspor komoditas mineral berbentuk konsentrat hingga 2017.
Pemerintah lantas mengatur batasan kadar minimal enam mineral olahan yang boleh di ekspor. Sementara komoditas tambang lainnya hanya boleh diekspor setelah dimurnikan atau berbentuk logam.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah memungut bea keluar dengan tarif progresif untuk ekspor mineral mentah sesuai dengan kadar pemurniannya. Cuma, perkembangan smelter tetap tidak menggembirakan. Sampai 2016, hanya ada 26 perusahaan smelter. Padahal, pemerintah menargetkan seharusnya ada 72 smelter dari semua komoditas pada 2017.
Awalnya galak
Masuk 2017, melihat perkembangan aktivitas pemurnian yang masih jauh dari target, pemerintahan Presiden Joko Widodo lantas memutuskan kembali melonggarkan keran ekspor mineral. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah merilis empat beleid sekaligus : satu Peraturan Pemerintah (PP) dan tiga peraturan menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Inti pelonggaran aturan ekspor mineral tercantum di PP Nomor 1/2017 dan Permen Nomor 5/2017. Menurut Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), esensi PP tersebut mengatur pelonggaran ekspor untuk produk pemurnian dan pengolahan.
PP anyar itu juga mengatur, pemegang KK pertambangan yang ingin mendapatkan relaksasi ekspor wajib mengubah bentuk usaha menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Yang tidak kalah penting, ada kewajiban divestasi saham hingga 51% jika tidak mampu membangun smelter. Porsinya dikurangi jadi 40% jika sudah memiliki aktivitas pemurnian dari hulu sampai hilir.
Meski sudah difasilitasi, Freeport McMoran, induk Freeport Indonesia tegas menolak aturan baru ini. Richard Adkerson, Chief Executive Officer (CEO) McMoran menyatakan, mereka ingin tetap berstatus KK dan tidak ingin berubah menjadi IUPK. Mereka juga hanya ingin mendivestasi saham sesuai KK dan ingin tetap bisa mengekspor konsentrat. Hebat kan?
Perusahaan asal AS itu bahkan mengancam menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. Pemerintah awalnya pasang tampang galak. Pemerintah bahkan menyatakan sudah menyiapkan dana Rp 40 triliun untuk mengambil 40,64% saham Freeport. Saat ini, pemerintah sudah memiliki 9,36% saham di Freeport.
Belakangan pemerintah melunak. Kementerian ESDM akhirnya memutuskan, Freeport berstatus sebagai IUPK sementara dan karenanya boleh mengeskpor kembali konsentrat. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji yang juga Ketua Tim Negosiasi menyatakan, pemerintah dan Freeport sudah menyepakati proses negosiasi berlangsung sampai Oktober 2017.
Selama periode tersebut, Freeport berstatus sebagai IUPK agar bisa mengekspor mineral mentah dan menjalankan usaha. Kalau sampai tenggat waktu tidak ada kata sepakat, Freeport bisa kembali berstatus KK.
Cuma, konsekuensinya, jika Freeport memilih KK, mereka tidak bisa mengekspor konsentrat. Namun jika memilih IUPK, Freeport bisa mengekspor mineral mentah selama melaporkan realisasi komitmen pembangungan smelter dan membayar bea keluar ekspor mineral.
Hadi M. Djuraid, Staf Khusus Menteri ESDM, mengungkapkan, pemerintah membagi tahapan negosiasi menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Fokus jangka pendek adalah perubahan KK menjadi IUPK. “Ini menjadi tema prioritas karena menjadi dasar bagi perundingan selanjutnya,” katanya.
Setelah 4 minggu berunding, Freeport akhirnya setuju untuk berubah status menjadi IUPK. Ini bisa terjadi karena pemerintah juga setuju untuk membuka kembali keran ekspor konsentrat mineral untuk Freeport.
Problemnya ada di negosiasi tahap jangka panjang yakni permintaan stabilitas dan jaminan investasi yang diajukan Freeport dan rencana divestasi saham 51%. Kabarnya, poin yang dimintakan Freeport cukup berat karena menyangkut ketetapan besaran royalti, pajak, dan jangka waktu operasi.
Untuk jangka waktu operasi, misalnya. KK II yang mengikat Freeport sekarang berlaku sampai 2021. Ada kemungkinan negosiasi akan berujung permintaan perpanjangan batas waktu pengoperasian sampai 2014 sesuai ketentuan KK II.
Soal divestasi saham, kabarnya Freeport McMoran punya catatan khusus karena kewajiban divestasi perusahaan tambang bawah tanah adalah 30%. Sementara, total saham yang sudah didivestasi sejatinya sudah 19,3%. Maknanya, sisa kewajiban divestasi adalah 10,7%.
Hadi sendiri memastikan, pemerintah tidak akan menganulir kebijakan kewajiban konversi KK menjadi IUPK, kewajiban divestasi saham 51%. “Yang bisa dirundingkan hanya implementasinya,” ujarnya.
Soal poin-poin stabilitas dan jaminan investasi yang dimintakan Freeport, Hadi menyatakan harus mendapat persetujuan dari pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya. Makanya, proses negosiasi akan melibatkan Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Timika serta masyarakat adat.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, upaya jalan keluar yang paling baik adalah dengan negosiasi. Ia juga menilai baik proses negosiasi melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Cuma, Ahmad Redi, Jurubicara Koalisasi Masyarakat Sipil, menyatakan berniat menggugat hasil negosiasi pemerintah dan Freeport. Saat ini, koalisi sudah menggugat beleid yang diterbitkan pemerintah awal Januari 2017 lalu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sumber : Tabloid Kontan 10 Apr – 16 Apr 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar