Perasaan pemerintah campur aduk. Satu sisi, senang karena program amnesti pajak telah berakhir sukses. Sisi lain, galau lantaran amnesti pajak tidak secara otomatis mengamankan target penerimaan Negara. Secara kuantitatif, hasil yang didapat sangat minim. Nilai tebusan yang terjaring, misalnya, hanya Rp 112 triliun. Angka itu setara 67% dari target yang semula dibayar pemerintah sebesar Rp 165 triliun.
Repatriasi dana WNI yang dijanjikan akan dibawa pulang ke dalam negeri lebih rendah lagi. Selama 9 bulan pelaksanaan amnesti pajak, komitmen repatriasi hanya Rp 146 triliun dari target Rp. 1.000 triliun. Realisasi dana yang telah dibawa pulang pun sangat kecil, Rp 121 triliun.
Jumlah wajib pajak (WP) baru yang terjaring juga tidak fantastis. Jumlah WP baru hanya 44.232 dari 832.631 WP peserta amnesti pajak. Logika awam bisa menjangkau sampai pada simpulan bahwa amnesti tidak efektif menambah jumlah WP. Diperiksa dari potensinya, jumlah pekerja mencapai 115 juta jiwa namun baru sekitar 32 yang terdaftar sebagai WP.
Repatriasi dana dan partisipasi WP adalah dua indikator penting. Ruh dari amnesti pajak adalah kepulangan dana WNI dari luar negeri diproyeksikan dalam jangka pendek memberi daya stimulasi ekonomi di dalam negeri yang menciptakan efek pengganda dalam jangka panjang. Partisipasi WP menjadi bukti kontribusi warga negara yang baik.
Sangat boleh jadi, amnesti pajak yang di lakukan pemerintah terbentur oleh rendahnya kepatuhan WP. Menteri keuangan meyakini yang belum ikut amnesti pajak masih lebih banyak dari pada yang ikut. Sinyalemen ini masuk akal. Dari jumlah WP yang terdaftar, WP yang menyampaikan SPT hanya 12 juta. Konkretnya, pembayar pajak aktif hanya 12 juta.
Pembayaran pajak di Indonesia memang menganut sistem self assessment. Pemerintah memberikan kepercayaan peneuh kepada WP untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Di sisi lain, pemerintah memiliki kewenangan untuk memeriksa kewajaran laporannya.
Sayangnya, pemeriksaan pajak- andai ditemukan kejanggalan – jarang sampai pada pengadilan pajak. Pun jika terjadi, butuh waktu paling tidak tiga tahun untuk memutuskan perkara pidana pajak. Penyelesaian sengketa pajak kebanyakan berakhir pada denda yang perhitungannya masih bisa dirundingkan.
Kesadaran WP
Kenyataannya diatas mengindikasikan problem rendahnya penerimaan perpajakan terkait dengan aspek regulasi yang belum mampu mengondisikan kepatuhan WP dalam menunaikan kewajibannya. Konsekuensinya, sistem self assessment menghendaki penegakan hukum yang kredibel.
Pentingnya regulasi dan penegakan aturan harus didukung pula oleh subjek pajak yang terkena aturan. Oleh karenanya, masalah pajak tidak hanya semata-mata terkait dengan aspek kepatuhan melainkan sudah masuk pada masalah yang lebih hakiki, yakni kesadaran WP.
Rendahya kesadaran WP seolah ‘difasilitasi’ oleh perkembangan teknologi. Teknologi informasi melancarkan konektivitas segenap penjuru tanah air. Aplikasi daring membantu mengubah proses kreatif dan model bisnis sehingga mendongkrak produktivitas. Akibatnya, hampir tidak ada beda antara produsen, konsumen dan distributor. Persamaannya adalah eksistensi pendapatan dan akumulasi pendapatan adalah kekayaan.
Alhasil, orang cenderung akan menyembunyikan pendapatan yang sebenarnya agar pajak yang dibayarkan lebih rendah. Atau, pendapatan yang sebenarnya telah dilaporkan sebagai basis pembayaran pajak, sementara pendapatan dari sumber lain, dari aktivitas aplikasi daring, misalnya, tidak dia ungkap.
Modus yang paling mutakhir adalah perusahaan melakukan kegiatan usaha tanpa mendirikan badan usaha (over the top). Kasus Google, Facebook, Twitter, Word Press, Microsoft, Apple dan Yahoo menjadi pelajaran berharga bahwa regulasi harus mampu mengikuti perkembangan zaman sehingga pajak bisa terpungut.
Praktik penyimpangan dalam pembayaran pajak yang intinya menunjukkan rendahnya kesadaran WP semacam itulah yang paling realistis dikejar pemerintah melalui pengakan hukum untuk saat ini. Hal demikian relevan untuk mengonversi potensi menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak. Patut dicatat, selama 6 tahun terakhir, realisasi pajak selalu lebih rendah dari target. Akibatnya, posisi rasio pajak masih berkisar 10%-11%. Angka ini lebih rendah dibanding capaian rasio pajak di negara-negara ASEAN.
Harapan untuk mengerek penerimaan pajak terbuka luas. Tim Reformasi Perpajakan telah dibentuk Menteri Keuangan pada akhir Desember 2016. Berbekal perbaikan basis data dan penegakan hukum, cita-cita pajak sebagai soko guru pembiayaan pembangunan niscaya akan kesampaian.
Dalam kondisi perekonomian nasional yang masih mengalami perlambatan, tidak bijak apabila upaya mengejar pajak dilakukan dengan ekstensifikasi objek pajak. Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa pondasi kesadaran membayar pajak yang kuat niscaya akan kontraproduktif.
Alhasil, kesadaran WP perlu dirawat dengan peningkatan pelayanan melalui kemudahan pembayaran, pelaporan, dan akses informasi perpajakan. Sebagai imbalannya, WP perlu memperoleh jaminan bahwa setoran pajaknya dialokasikan konkret pada belanja yang membawa kemaslahatan rakyat.
Sumber: Kontan, Senin, 10 April 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar