Setelah sempat riuh dan konon akan memaksa Google membayar pajak dalam jumlah besar, pemerintah akhirnya mundur. Sempat lama tidak ada kabar, PT Google Indonesia (PTGI) memasukkan laporan audit dengan jumlah pajak penghasilan sebesar Rp 5,2 miliar saja (KONTAN, edisi 4 April 2017).
Padahal, dalam dokumen yang diperoleh KONTAN, Google Asia Pacific Pte Ltd Singapura (GAP) mencatat pendapatan sebesar US$ 109,2 juta yang didapat dari klien di Indonesia pada 2015. Dari jumlah itu, 10 besar klien Indonesia berkontribusi 55% terhadap pendapatan atau sebesar US$ 60 juta.
Direktorat Jenderal Pajak saat itu memperkirakan bahwa angka pajak yang seharusnya dibayar Google mencapai Rp 450 miliar (KONTAN, 12 Maret 2017). Karenanya mengejutkan jika angka final yang dibayarkan hanya 1% dari prakiraan.
Betulkah hanya sebesar itu hak Pemerintah Indonesia untuk memajaki Google? Adakah hal lain yang dapat dilakukan? Penulis mencoba mengurai pemajakan Google dari sudut pandang pajak internasional, baik berupa ketentuan positif maupun praktik yang dilakukan di negara lain.
Ketika pemerintah menyampaikan bahwa Google tidak atau kurang membayar pajak, yang dimaksud adalah pajak penghasilan atas pendapatan iklan yang diterima oleh GAP dari konsumen di Indonesia. Sementara, angka Rp 5,2 miliar yang disebutkan dalam laporan audit, merupakan penghasilan dari PTGI, yang merupakan wajib pajak Indonesia.
Secara legal, ketika satu pihak di Indonesia memanfaatkan jasa iklan di Google (AS) dia akan langsung bertransaksi dan mengikat kontrak dengan GAP di Singapura, yang merupakan perwakilan Google di Asia Pasifik. Uang langsung dikirim ke rekening Google dan jasa langsung diberikan tanpa melalui campur tangan kegiatan di Indonesia.
Karenanya, GAP maupun Google tidak memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Tanpa ada kegiatan usaha yang nyata, berdasarkan peraturan perpajakan di Indonesia yang berlaku dan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura yang berlaku, GAP tidak diwajibkan memiliki BUT di Indonesia.
Meskipun pihak Ditjen Pajak sempat menyatakan bahwa terdapat 140 dedicated cache server yang dapat menjadikan dasar penetapan GAP sebagai BUT (KONTAN, 20 Februari 2017), nampaknya hal itu tidak cukup kuat untuk ditetapkan.
Untuk jasa iklan, yang merupakan sumber penghasilan terbesar Google, GAP langsung bertransaksi dengan konsumen di Indonesia.
Sementara, untuk fungsi lain yang memerlukan aktivitas fisik di Indonesia, GAP atau Google akan melakukan alih daya pekerjaan kepada PTGI, dengan penghitungan remunerasi yang–akan dinyatakan–sesuai dengan arm’s length principles.
Struktur Google melakukan usahanya seperti ini jamak dilakukan di seluruh dunia. Strategi Google ini tidak unik karena banyak dilakukan oleh multinasional lainnya, yaitu menghindari keberadaan legal (BUT) di wilayah pasar yang akan berdampak pada pengenaan pajak.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Apa yang negara-negara lain lakukan untuk memajaki Google?
Negara pertama yang aktif melawan Google adalah Inggris dengan merilis aturan diverted profit tax (DPT), yang kerap disebut sebagai Google Tax yang berlaku April 2015.
Aturan ini dibuat untuk mengejar pajak dari perusahaan yang menggunakan struktur Double-Irish Dutch Sandwich seperti yang dilakukan Google. Setelah audit dan perdebatan yang panjang dengan Her Majesty Revenue and Customs (HMRC), otoritas pajak Inggris, Google Inggris sepakat membayar pajak £ 140 juta (Rp 2,4 triliun).
Kondisi serupa dialami Prancis yang mengambil langkah sedikit berbeda. Setelah melakukan penggeledahan pada Kantor Google di Paris Februari 2016, Menteri Keuangan Prancis Michel Sapin menjanjikan tidak akan ada deal dengan Google sebagaimana dilakukan Inggris.
Menteri Sapin lebih jauh menyatakan bahwa Google akan membayar pajak lebih besar daripada yang mereka bayar di Inggris. Pemerintah juga menerbitkan peraturan serupa diverted profit tax, tetapi kemudian dibatalkan berlakunya oleh Dewan Konstitusi. Hingga saat ini belum diketahui berapa pajak yang akan dibayarkan oleh Google Prancis.
Tidak mau ketinggalan, Australia juga bereaksi atas Google. Pada Mei 2015, Australia menerbitkan tax integrity multinational anti-avoidance law (MAAL) yang dirancang untuk mencegah perusahaan multinasional asing (non-residen) menggunakan skema yang memungkinkan mereka melakukan aktivitas penjualan di Australia tetapi tidak membayar pajak, karena tidak berada di Australia secara legal.
Berbeda dengan DPT milik Inggris, MAAL bukan aturan baru tersendiri. Aturan yang mulai berlaku 2016 ini merupakan revisi dan menjadi bagian dari general anti-avoidance rule (GAAR) Australia, yang diarahkan kepada perusahaan beromzet di atas AUD 1 miliar.
Aturan ini berlaku bagi non-residen yang menjual barang atau jasa kepada warga Australia (tanpa hubungan istimewa), yang pendapatan itu tidak diatribusikan kepada BUT di Australia dan aktivitas fisik di Australia dilakukan oleh perusahaan Australia sebagai penyedia jasa.
Contoh berikutnya India yang menyusun aturan equalization tax yang merupakan withholding tax sebesar 6% atas transaksi e-commerce oleh perusahaan teknologi non-residen yang menjual jasanya kepada konsumen di India.
Pilihan Indonesia
Pilihan paling mungkin diambil adalah perpaduan ketiganya. Mengharapkan pajak penghasilan atas laba Google tanpa ada BUT sulit dilakukan. Padahal melakukan audit dan memaksakan penetapan pajak tanpa peraturan yang cukup merupakan kesewenangan dan berujung pada kekalahan di Pengadilan Pajak.
Sementara, menunda penyusunan peraturan serupa Google tax akan menyebabkan kita semakin lama kehilangan potensi pendapatan yang besar di masa datang.
Aturan yang disusun dapat mengarah kepada pajak penghasilan GAP secara langsung seperti dilakukan oleh Australia dan Inggris atau berupa PPh pemotongan dan pemungutan seperti dilakukan oleh India.
Untuk kegiatan Google yang terjadi sebelum peraturan itu disusun, pemerintah bisa menagih pajak pertambahan nilai yang terutang atas transaksi iklan kepada konsumen Google di dalam negeri. Sebab mereka telah memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pemerintah dapat meminta rincian data konsumen melalui kerja sama dengan GAP dan otoritas pajak Singapura (IRAS) dalam kerangka pertukaran informasi (exchange of information) sesuai pasal 26 P3B. PPN yang akan dibayarkan konsumen memang dapat dikreditkan. Tapi hal ini akan meningkatkan kepatuhan secara keseluruhan dan menguntungkan pengusaha lokal yang bertransaksi dengan Google.
Perbaiki Kemudahan Usaha, Bayar Pajak Dipermudah
JAKARTA. Pemerintah akan membenahi berbagai indicator yang menjadi penilaian kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB), salah satunya dari kemudahan dalam pembayaran pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji akan melihat seluruh indikator yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan.
Selain pajak, pihaknya juga akan melihat kembali aturan dalam perdagangan lintas batas. “Kami akan memperbaiki dwelling time, percepatan pelayanan, dan kemudahan bayar pajak termasuk penggunaan e-filling,” janji Sri ditemui di gedung Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Selasa (9/5).
Penilaian kemudahan berusaha akan dilakukan Bank Dunia pada pertengahan bulan ini. Dalam kesempatan tersebut tim World Bank akan melakukan verifikasi kepada para responden mereka di Indonesia, termasuk sejumlah lembaga pemerintahan baik pusat maupun di daerah, seperti Jakarta dan Surabaya.
Sebelumnya pemerintah telah melakukan rapat koordinasi untuk mempersiapkan strategi menghadapi survey kemudahan berusaha di Indonesia. Dengan strategi matang, pemerintah yakin peringkat EoDB Indonesia menanjak dari tahun lalu yang di peringkkat 91.
Penulis: Bayu R. Rahayu
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak

Tinggalkan komentar