
Jakarta – Maraknya kehadiran e-commerce atau toko online membuat banyak orang mulai beralih dan mengubah cara belanja karena dianggap lebih efisien. Para pengusaha pun mencemaskan pertumbuhan toko online ini.
Pertumbuhan toko online di dalam negeri memang cukup pesat, terlihat dari pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi di kuartal I-2017 yang mencapai 9,01%. Faktor pendorongnya, naiknya angka pengguna internet dan transaksi belanja online. Menjamurnya toko online membuat toko-toko konvensional bahkan pusat perbelanjaan modern seperti mal terancam ditinggal pelanggan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, kondisi pusat perbelanjaan modern seperti mal masih diminati oleh masyarakat. Namun, pengusaha mal tetap perlu menyikapi keberadaan industri e-commerce yang tumbuh dengan signifikan. “Tapi sekali lagi saya berikan early warning untuk diri kita masing-masing, jangan abaikan online. Karena e-commerce itu, yang jadi persoalan adalah mereka belanja itu tidak bayar pajak, sedangkan toko-toko di mal bayar pajak. Kemudian bayar sewa yang mahal, jadi itu terjadi persaingan,” kata Enggar saat menghadiri Rakornas Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), di Hotel Sheraton Grand, Jakarta, Senin (8/5). Tema Rakornas adalah mengantisipasi pengembangan teknologi digital yang tengah berkembang dengan pesat.
Enggar mengatakan, potensi pengembangan pusat perbelanjaan modern masih besar. Alasannya, jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, dan perilaku masyarakat yang kerap berkumpul di suatu tempat alias ‘nongkrong’.
Oleh sebab itu, Enggar mengatakan, pihak pengusaha perlu melakukan berbagai inovasi yang kreatif agar dapat menarik minat masyarakat. “Yang menarik di Indonesia ini kebutuhan mereka (masyarakat) untuk hangout cukup besar kemudian pengusaha kreatif sekali jadi dibuat berbagai kegiatan, ada juga kuliner dan lain sebagainya,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan juga mengaku saat ini kondisi di pasar perbelanjaan modern masih terus mengalami perkembangan. Namun, dirinya tak memungkiri perkembangan e-commerce juga memengaruhi pusat perbelanjaan modern yang berbasis offline.
Dia pun mengatakan bahwa pelaku di sektor perbelanjaan modern seperti mal perlu melakukan berbagai inovasi kepada konsumen agar dapat terus dapat memiliki minat pada pasar modern. “Kalau kami lihat online dan offline, katanya kita offline, order getting lost (pesanan berkurang). Minat masyarakat datang atau belanja di pusat perbelanjaan itu tidak menurun. Cuma (online) memang memengaruhi. Online transaksinya masih jauh di bawah 1%, lebih rendah cuma memang kenaikannya pesat sekali,” terangnya.
“Kita mesti berubah, kalau enggak berubah ya kita yang ditinggalin. Jadi bagaimana yang offline ini bisa lebih menarik dari online. Menariknya, seperti dengan memberikan experience yang berbeda kepada masyarakat. Supaya terarik untuk datang dan berbelanja,” tukasnya.
Stefanus Ridwan menjelaskan satu yang membuat pertumbuhan industri mal tak mengalami perkembangan pesat ialah, karena lamanya return of investment atau balik modal, dalam berbisnis pusat perbelanjaan modern itu.
Stefanus mengatakan, sekitar 10 hingga 20 tahun yang lalu, pebisnis mal tak terlalu lama untuk bisa balik modal.”Tahun 90-an itu semua pusat belanja empat tahun bisa BEP (break even point/balik modal), kok sekarang bisa dua kali lipat, bisa lebih, sebab penyewa kita bayarnya semakin lama semakin sedikit,” terangnya.
Artinya, saat ini pengusaha mal butuh waktu 8 tahun lebih untuk bisa balik modal. Lamanya waktu balik modal, menurut Stefanus, ialah karena pajak yang dikenakan terhadap bisnis pusat perbelanjaan pun kian memberatkan pengusaha mal.”Dan pajaknya makin lama makin berat. Dulu kita pajak buat mal itu pajak corporate biasa, tergantung untungnya berapa. Kemudian sekarang, enggak peduli mal untung atau rugi, PPh-nya (pajak penghasilan) final,” terang kata.
Tak hanya pajak penghasilan, dia mengatakan pajak untuk iklan pun angkanya sudah terlalu tinggi. Kemudian, ada pajak-pajak lainnya lagi yang ditanggung pengelola pusat belanja. “Dulu (PPh) sekira pajaknya 4%, sekarang 10%. Pajak iklan jangan tanya, pajaknya selangit. Dulu kita enggak perlu bayar kan kalau ada musik di mal, sekarang ada yang harus kita bayar,” terangnya.
Sumber : medanbisnisdaily.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar