Tax Effort di Era Keterbukaan Data

Hasrat besar Kementerian Keuangan mereformasi pajak tengah berada dalam momentum terbaiknya. Titik tonggaknya adalah amnesti pajak. Program ini membuka kesempatan bagi wajib pajak (WP) untuk mendeklarasi hartanya yang selama ini masih ‘tersembunyi’ dari sistem perpajakan nasional.

Amnesti Pajak juga menyasar pemilik harta diluar negeri untuk merepatriasi ke Tanah Air. Pasca program Amnesti Pajak berakhir per 31 Maret 2017, kementerian Keuangan mendapatkan momentum keduanya, yakni pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) perihal keterbukaan informasi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk kepentingan perpajakan.

Penerbitan Perppu menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengakses kerahasiaan data nasabah dari bank, bursa efek, perasuransian, dan lembaga keuangan lainnya, baik asing maupun domestik. Dengan Perppu ini, pemerintah tampaknya ‘mencuri start’ sebelum diberlakukan secara global pada 2018.

Awalan semacam ini diperlukan sebagai persyaratan agar semua WP telah siap dengan agenda AEOI. Melalui AEOI, pemilik harta yang belum terlaporkan atau aset lain diluar negeri akan ketahuan subjek, jumlah dan lokasinya. Alhasil, kepatuhan WP akan terkondisikan dengan sendirinya.

Dalam konteks kepatuhan inilah, penerbitan Perppu menjadi titik tolak DJP untuk melakukan upaya pajak (tax effort). Upaya pajak adalah indikator keberhasilan pengumpulan pajak dengan merujuk pada potensinya.

Upaya pajak seajauh ini didasarkan pada asumsi WP senantiasa memiliki iktikad baik. Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh pada WP untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Di sisi lain, pemerintah memiliki kewenangan untuk memeriksa kewajaran laporannya.

Pemeriksaan pajak untuk mengetahui kepatuhan WP idealnya didasarkan pada pendapatan sebagai refleksi potensi ekonominya. Data pendapatan praktis sulit diidentifikasi. Subjek pajak terutama golongan menengah atas memiliki insentif kuat untuk menyembunyikan pendapatan senyatanya yang dia peroleh.

Atau, pendapatan yang sebenarnya telah dia laporkan sebagai basis pembayaran pajak, sementara pendapatan dari sumber lain tidak dia ungkap.

Dari manapun pendapatan berasal dia akan dibelanjakan. Dengan logika ini, pengeluaran adalah representasi yang paling dekat dengan pendapatan. Sayangnya, belanja WP golongan bawah cenderung ‘bombastis’ disbanding pendapatannya. Konsekuensinya, pengeluaran tak sepenuhnya mencerminkan pendapatan.

Alhasil, setoran pajak yang berbasis pada pendapatan menjadi understated dan pemeriksaan pajak yang mendasarkan data pengeluaran agak overstated.

Berbasis kekayaan

Setoran pajak, oleh karenanya, menjadi sensitif terhadap perubahan pendapatan. Seorang WP yang sedang tidak berpenghasilan pada saat pemeriksaan, akibat PHK, misalnya, kalau dimasukkan ke dalam perhitungan kinerja tax effort pasti hasilnya memburuk.

Dalam hubungan ini, ukuran yang lebih realistis untuk menggambarkan tax effort adalah kekayaan (wealth). Kekayaan adalah akumulasi dari pendapatan. Dasar perhitungannya merujuk pada konsep stok, yaitu posisi pada satu titik waktu tertentu. Tax effort yang berbasis kekayaan niscaya lebih representatif.

Mengambil contoh WP korban PHK tadi, meski tidak berpenghasilan, ia masih punya kekayaan. Tapi data kekayaan belum tersedia di Indonesia sehingga profil kepatuhan pajak jadi tidak utuh.

Oleh karenanya, simpanan WP berbentuk tabungan, deposito dan aset financial lain di perbankandan lembaga keuangan lain bisa dipandang sebagai kekayaan. Aset jenis ini produktif lantaran menciptakan imbal hasil. Dengan keleluasan DJP mengakses data rekening keuangan seperti ini, variable proksi yang paling mendekati kekayaan WP bisa diukur.

Selanjutnya, DJP bisa memprediksi tingkat pendapatan WP selama periode waktu tertentu. Sepertinya, DJP memakai logika incremental capital output ratio (ICOR) sebagaimana dalam investasi, yakni tambahan capital (pendapatan) untuk mengejar nilai output (kekayaan), dalam melacak pendapatan WP yang ‘wajar’. Karenanya, pajak yang dibayar WP merepresentasikan tambahan kemampuan ekonomiannya.

Alhasil, keterbukaan informasi keuangan akan meningkatkan kepatuhan WP. Transparansi data keuangan juga bisa mengurangi praktik korupsi.

Harapannya, tidak ada kongkalikong antara fiskus dengan WP untuk mengurangi tagihan pajak atau restitusi pajak. Dua hal itu adalah pertanda bahwa reformasi perpajakan telah tercapai.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Pemeriksaan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar