
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2017 yang memberi kewenangan bagi Direktur Jenderal Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan. Terbitnya Perppu No 1/2017 menimbulkan implikasi yuridis yang tidak sederhana. Benarkah penerbitan Perppu langkah yang tepat?
Automatic Exchange of Financial Account merupakan implikasi dari ditandatanganinya Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters. Di Indonesia, Konvensi ini telah diratifikasi melalui Perpres No 159/2014. Namun konvensi ini tidak mengatur penghapusan prinsip kerahasiaan bank.
Bahkan seharusnya, sebelum masuk dalam perjanjian untuk pertukaran informasi secara otomatis dengan yurisdiksi lain, negara peserta harus memastikan bahwa pranata hukum nasionalnya memang telah siap untuk hal ini (OECD, 2014:12). Maka, seharusnya terjadi perubahan hukum nasional terlebih dahulu, ketika sudah siap, maka Indonesia ikut serta dan bukan sebaliknya.
Jika menggunakan logika pemerintah dalam konsiderans Perppu No 1/2017, Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters tidak cocok diratifikasi dengan sekedar menggunakan Perpres melainkan harus lewat Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 10 UU 24/2000, pengesahan perjanjian internasional harus dilakukan dengan undang-undang, salah satunya adalah, apabila berkenaan dengan pembentukan kaidah hukum baru.
Dalam hal ini, jika benar Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters mengakibatkan adanya perubahan kaidah hukum baru di bidang perbankan dan perpajakan, maka seharusnya pengesahan perjanjian internasional tersebut dilakukan melalui Undang-Undang. Artinya, pemerintah sudah salah sejak awal.
Disamping soal inkonsistensi logika, dalih menaati perjanjian internasionl di bidang perpajakan dan ketidakmampuan untuk mematuhi perjanjian internasional itu akan berdampak sangat negatif bagi Indonesia bukanlah alasan yang tepat untuk menerbitkan Perppu. Pemerintah seharusnya ingat, selain ukuran subjektif yang dimiliki oleh Presiden, Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 138/PUU-VII/2009 telah memutus mengenai ukuran objektif yang perlu diperhatikan dalam penyusunan sebuah Perppu.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan itu belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Ketiga hal yang termuat dalam putusan MK itu tentunya timbul dari sebuah kondisi yang berada di luar kekuasaan dan perkiraan pemerintah. Dalam hal ini, penerbitan Perppu No 1/2017 menjadi aneh mengingat dasar pelaksanaan Automatic Exchange of Financial Account adalah penandatanganan perjanjian internasional. Artinya pemerintah seharusnya sudah mengkaji implikasi dari pernjanjian itu, apalagi konvensinya sudah jauh-jauh hari diratifikasi pemerintah kita.
Langkah Berisiko
Keputusan memilih instrumen berupa Perppu bukanlah tanpa risiko. Pemerintah harus siap apabila DPR memutuskan tidak menyetujui Perppu ini menjadi Undang-Undang. Pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD 1945 mengatur bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR. Bila tidak maka Perppu harus dicabut.
Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Perppu melahirkan norma hukum yang baru yang akan menimbulkan status hukum, hubungan hukum dan akibat hukum baru. Norma hukum itu lahir sejak Perppu disahkan, namun nasib dari norma itu tergantung dari DPR yng memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak norma hukum baru tersebut.
Tidak ada masalah apabila Perppu diterima dan disahkan oleh DPR menjadi UU. Persoalan timbul apabila Dirjen Pajak mengorek data nasabah selama Perppu itu berlaku, namun ternyata DPR tidak mensahkan Perppu menjadi UU. Tidak dapat dibayangkan nasib para nasabah yang datanya sudah terlanjur terumbar. Ketidaknyamanan yang telah ditimbulkan oleh Dirjen Pajak tidakserta merta hilang dengan hilangnya Perppu.
Menerbitkan Perppu merupakan langkah sangat berisiko untuk materi pengaturan yang begitu serius. Dari satu sudut, keputusan ini membuat nasib kita berada di tangan belas kasihan DPR.
Namun dari sudut lain, pemerintah seolah-olah sedang melakukan fait accompli terhadap DPR untuk mau tidak mau mengesahkan Perppu No 1/2017 menjadi Undang-Undang dengan dalih akibat buruk yang harus ditanggung Indonesia di kancah internasional jika Perppu ini gagal menjadi Undang-Undang.
Selain persoalan prosedural, terdapat juga potensi masalah yang substansial. Perppu 1/2017 memang bertujuan bagi kepentingan perpajakan. Namun, Pasal 8 Perppu 1/2017 justru mencabut Pasal 40 dan 41 UU Perbankan yang mengatur kerahasiaan data perbankan tidak hanya terkait perpajakan.
Dengan dicabutnya Pasal 40 dan 41 ini, tidak ada jaminan bahwa kerahasiaan hanya dikecualikan dalam soal perpajakan tapi juga membuka kemungkinan bahwa kerahasiaan bank dapat dibuka untuk soal-soal lain. Inilah yang harus diperhatikan DPR agar jangan sampai pengesahan Perppu 1/2017 justru bagai membuka kotak Pandora.
Perppu Nomor 1/2017 justru lebih berpotensi menimbulkan keraguan bagi para nasabah untuk menyimpan di bank. Dalih kalau bersih kenapa harus takut, tidak cocok jika berhadapan dengan kondisi bahwa masih terbuka adanya kondisi penyelewengan kewenangan oleh pejabat terkait. Hal itu tentu membahayakan bisnis perbankan yang dibangun di atas dasar kepercayaan.
Jika memang yang disasar adalah kerahasiaan bank, seharusnya pemerintah menggunakan instrument UU dengan amandemen UU Perbankan. Selain lebih aman dari sisi perdebatan prosedural yuridis, juga membuka ruang untuk waktu yang lebih dalam melakukan kajian mengenai harmonisasi aturan hukum yang sudah ada agar tidak saling bertubrukan. Selain itu, proses sosialisasi di masyarakat dapat berlangsung bertahap sehingga masyarakat tidak terkejut dengan perubahan aturan yang ada.
Di tengah banyaknya keanehan yang menyelimuti Perppu No 1/2017, pemerintah dan DPR harus ingat bahwa sebaik-baiknya aturan internasional adalah aturan yang memang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara. Yang jelas, jangan sampai menuruti perjanjian internasional hanya dalih untuk jalan pintas mengubah prinsip kerahasiaan bank. Kini, semua ada di tangan DPR.
Sumber : Kontan, Senin, 22 Mei 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar