
LPS masih menggodok aturan besaran premi program restrukturisasi perbankan.
Krisis yang menghantam sektor perbankan memberikan pelajaran yang berharga betapa mahalnya ongkos yang dikeluarkan pemerintah menyehatkan sektor keuangan. Sebab itulah, pemerintah menjalankan pendekatan bail in. Artinya, bank yang menyelamatkan industrinya tanpa melibatkan dana pemerintah.
Prinsip ini hendak diwujudkan dalam Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang disahkan tahun lalu. Salah satu isinya adalah pemungutan premi restukturisasi perbankan. Aturan soal ini seharusnya sudah dikeluarkan pada april lalu.
Premi ini nantinya untuk membiayai restrukturisasi perbankan. Ketika krisis, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan membentuk unit khusus bernama Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) untuk menangani bank bermasalah dengan memanfaatkan dana dari premi yang telah dikumpulkan.
PRP ini bentuknya mirip Badan Penyelamatan Perbankan Nasional (BPPN). Bedanya, bila BPPN merupakan instansi berdiri sendiri, PRP di bawah LPS dan dikontrol Komite Stabilitas Sistem keuangan (KSSK).
Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti mengatakan, premi tersebut sebagai bentuk pencegahan (preventif) agar ketika krisis, pembuat kebijakan tidak bingung dan panik mencari cara penanganannya. “Premi merupakan komitmen apabila ada bank bermasalah, LPS tidak bisa melepaskannya ke pemerintah sementara manajemen atau pemiliknya kabur,” ujarnya.
Saat ini LPS masih menggodok konsep kebijakan ini. Pembahasan molor dari target yang seharusnya lantaran masih banyak perdebatan dalam merumuskan kebijakan ini. Misalnya, apakah premi itu akan dipungut pada awal krisis, ketika krisis, atau setelah krisis ? Selain itu, apakah akan dikenakan pada semua bank atau bank berdampak sistemik? Sebab, UU PPKSK mewajibkan KSSK menyelamatkan bank berdampak berdampak sistemik, sementara bank yang non sistemik bisa langsung ditutup.
Salah satu perdebatan paling sengit adalah masalah besaran premi. LPS masih mendiskusikan apakah nantinya besaran premi tersebut akan dikaitkan dengan asset atau tingkat kesehatan bank.
Destry menambahkan, berdasarkan kajian Dana Moneter Internasional (IMF), biaya krisis mencapai 2%-3% dari produk domestik bruto (PDB). Namun, besaran ini tergolong konservatif. Dalam pengalaman krisis yang terjadi, ongkos krisis bisa lebih besar. Contohnya, pada periode 1997-1998, biaya krisis mencapai 60%-70% PDB Indonesia. Dalam krisis 2008, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan dana penyelamatan di atas 20%-40% PDB AS.
LPS menargetkan merampungkan perhitungan besaran premi tahun ini dengan jaminan besarannya tidak akan memberatkan perbankan. Penerapannya juga akan mempertimbangkan kondisi perbankan.
Destry memastikan, nantinya tidak akan ada istilah dua premi sebab tujuannya berbeda. Pembukuannya juga akan berbeda : premi LPS kondisi normal dan premi LPS kondisi krisis. “Besarannya tidak akan melampaui premi penjaminan LPS. Besaran premi itu pasti tidak akan menutup ongkos krisis. Karena itu, dibuka sumber pendanaan lain, seperti LPS bisa menerbitkan obligasi atau memberikan pinjaman kepada pihak ketiga.
Tingkat kesehatan
Rencana penerapan premi PRP memang tidak bisa ditolak perbankan. Maklum, ini adalah perintah UU. Namun, perbankan sangat menyoroti besarannya. Soalnya, saat ini, perbankan sudah dikenakan premi penjaminan sebesar 0,02% dari dana pihak ketiga (DPK) per tahun. Ada juga iuran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 0,045% dari asset dan kewajiban memenuhi giro wajib minimum (GWM) 6,5% dari DPK.
Iman Nugroho Soeko, Direktur Keuangan dan Treasury Bank Tabungan Negara (BTN) menuturkan, pihaknya menyerahkan rencana pemberlakuan premi restrukturisasi pada otoritas pada otoritas yang berwenang. “Premi itu bisa ditentukan uniteral oleh KSSK. Perbanas dan Himbara bisa memberikan masukan. Tapi, sesuai aturannya, penetapan premi itu tidak perlu kesepakatan,” kata Iman.
Menurut Iman, premi restrukturisasi memang cukup mendesak diberlakukan. Alasannya, krisis keuangan yang melanda sektor industri perbankan bisa terjadi kapan saja. “Jadi memang harus sedia payung sebelum hujan. Jangan sudah hujan baru cari payung,” tegasnya.
Hanya saja, lanjut Iman, hingga kini, industri perbankan belum diajak berdialog khusus terkait besaran pungutan premi tersebut. Itu sebabnya, Iman mengaku belum mendapatkan bocoran soal besaran nilai premi restrukturisasi yang akan ditetapkan pemerintah.
Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Maryono juga meminta agar premi yang diterapkan tidak memberatkan perbankan. Alasannya bisa berpengaruh pada suku bunga perbankan. Saat ini, perbankan masih dihadapkan pada biaya operasional (overhead) yang tinggi, sehingga bunga sulit turun. “Kalau premi restukturisasi disatukan atau diambil dari premi yang sudah ada saat ini akan lebih baik,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan, pungutan premi di bebankan ke bank yang berdampak sistemik saja. Sebab, berdasarkan UU, kelompok bank ini harus di selamatkan.
Namun jika diputuskan akan dibebankan pada semua bank, demi memenuhi asas keadilan, ada baiknya besaran premi dikaitkan dengan tingkat kesehatan dan aset. Soalnya bank yang memiliki risiko tinggi dan beraset besar seharusnya membayar premi lebih mahal.
Memang, bank besar biasanya lebih konservatif. Tetapi, saat krisis datang dan bank besar sakit, untuk penyelamatan jelas membutuhkan dana yang sangat besar. “Premi dikaitkan dengan tingkat kesehatan agar bank yang selama ini memiliki risiko tinggi lebih termotivasi memperbaiki diri dan lebih mampu mengelola risiko,” ujar Bhima.
Penulis : Roy Franedya, Agung Jatmiko, Dikky Setiawan
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan komentar