JAKARTA. Petani tebu penghasil gula mengungkapkan keberatannya apabila rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% direalisasikan. Alasan utama penolakan karena PPN 10% dapat membebani para petani.
Ketua DPP Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun mengatakan, tingginya biaya produksi yang saat ini harus ditanggung oleh petani tebu. Apabila ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% untuk gula yang dihasilkan akan semakin memberatkan mereka.
“Untuk mengetahui petani itu untung atau rugi, parameternya adalah dari produktivitas. Produktivitas tanaman tebu para petani saat ini nyaris di bawah 80 ton per hektare dan rendemen di bawah 7%” katanya di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (13/7/2017).
Biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani tebu dengan jumlah produksi yang hanya sekira 80 ton per hektar dan rendemen di bawah 7%, disebutnya maka biaya produksi per kilo mencapai Rp9.500 hingga Rp10.500. Jika ada pajak 10% yang harus ditanggung oleh petani tebu, maka dapat menyebabkan nilai keuntungan petani dari penjualan gula ke pedagang menjadi lebih sedikit.
“Nah berapa petani itu harus untung, petani itu harus untung paling tidak rendemennya 10% dengan produktivitas 100 ton per hektare. Mengapa petani tidak bisa mendapatkan produktivitas 100 ton dengan rendemen 10%? ada masalah yang di luar kemampuan para petani,” jelasnya.
Masalah yang dimaksud dijelaskannya ialah modal kerja yang semakin sulit dan rumit didapat, kemudian masalah varietas bibit unggul, terakhir ialah infrastruktur irigasi.
Di tempat yang sama Sekjen DPN APTRI Nur Khabsyin mengaku, pihaknya akan terus memantau agar gula petani tidak dikenakan PPN. “Setelah ini kami akan mengadakan pertemuan dengan pedagang untuk sosialisasi, menyamakan persepsi dan tidak takut lagi membeli gula tani. Yang terpenting tidak menekan harga gula tani,” tukasnya
Sumber : okezone.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar