Survei BI Dan Penurunan Daya Beli

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) baru saja mempublikasikan hasil dua survei ekonomi, yaitu mengenai kepercayaan konsumen dan kegiatan dunia usaha. Hasilnya cukup bagus dan membuat kita lebih optimistis.

Survei kepercayaan konsumen menunjukkan optimisme mereka masih  tinggi pada Juni lalu, meski sedikit lebih rendah dibandingkan Mei. Untuk survei kegiatan dunia usaha (SKDU), temuan BI memperlihatkan pertumbuhan lebih tinggi selama kuartal II dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan tersebut disebabkan, antara lain, oleh faktor musiman yang mendorong naiknya permintaan khususnya di pasar domestik.

Kita tentu bergembira dengan hasil penelitian tersebut karena hal itu memperlihatkan optimisme yang tetap tinggi. Bolehlah kita berharap tahun ini perkembangan ekonomi akan berjalan baik bahkan bisa meningkat. Optimisme itu sangat penting karena akan mendorong gairah kerja dan harapan-harapa baru  makin meningkat pula.

Namun demikian kita juga perlu memperhatikan beberapa indikator lain yang tidak boleh diabaikan.  Dalam publikasi mengenai indeks manufaktur bulanan, terlihat bahwa Juni lalu sektor manufaktur Indonesia terkontraksi untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir. Indeks manufaktur pada Juni berada di angka 49,5 dari bulan Mei sebelumnya 50,6.  Indeks di atas 50 mengindikasikan ekspansi manufaktur. Sebaliknya, indeks di bawah 50 menandakan sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi.

Ekonom IHS Markit Pollyanna De Lima menyatakan perlambatan kinerja manufaktur dipicu anjloknya permintaan domestik. Penurunan permintaan domestik itu menjadi penyebab pabrikan menahan produksi. “Pelemahan permintaan domestik memicu penurunan produksi,” katanya dalam keterangan resmi baru-baru ini.

Pelemahan manufaktur Indonesia juga linier dengan anjloknya manufaktur negara-negara anggota ASEAN lainnya. Indeks manufaktur ASEAN juga turun ke angka 50,0 pada bulan Juni, dari posisi 50,5 pada bulan Mei. Di ASEAN, ekspansi manufaktur hanya dialami empat negara, yaitu Filipina (53,9), Vietnam (52,5), Thailand (50,4), dan Singapura (50,3). Sementara sektor manufaktur negara ASEAN lainnya turut mengalami kontraksi.

Dari data-data tersebut, semestinya kita lebih berhati-hati. Kita juga telah mendengar keluhan kalangan dunia usaha mengenai melemahnya permintaan domstik akhir-akhir ini. Laporan dari industri manufaktur, terutama makanan dan minuman, menunjukkan pelemahan permintaan pasar domestik dan sangat nyata. Misalnya pada Lebaran lalu. Biasanya, saat Lebaran penjualan sangat meningkat, namun tahun ini jutsru terlihat stok manumpuk di gudang ritel saat Lebaran usai.

Kita mempercayai data lapangan dari asosiasi.  Asumsi terjadinya pelemahan daya beli  masyarakat beberapa waktu terakhir kini terkonfirmasi dengan data lapangan tersebut. Semestinya hal itu  dicermati dengan seksama oleh pemerintah dan pelaku usaha. Fakta itu juga memperkuat dugaan bahwa  inflasi yang rendah, atau bahkan deflasi, beberapa bulan terakhir sangat mungkin lebih disebabkan karena penurunan daya beli masyarakat, bukan semata keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga barang.

Maka, pemerintah harus menelusurinya dengan cermat  dan tepat. Kita kembali mendorong Badan Pusat Statistik (BPS), bahkan BI,  untuk melakukan penelitian mengenai daya beli konsumen. Benarkah melemah? Kalau benar, pemerintah harus bersedia mengoreksi berbagai kebijakan yang bisa makin menekan daya beli masyarakat, seperti menaikkan tarif listrik dan harga gas. Kalau asumsi tersebut ternyata salah, maka optimisme terhadap kemajuan perekonomian nasional memang beralasan dan harus dipertahankan.

Sumber : sinarharapan.co

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar