
JAKARTA. Aturan baru Direktorat Jendral Pajak (Ditjen) Pajak atas controlled foreign companies (CFC) dinilai ketinggalan zaman. Peraturan Menteri Keuangan No 107/2017 yang keluar untuk menangani penghindaran pajak antar negara itu dinilai banyak kekurangan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA Yustinus Prastowo mengatakan, beberapa kekurangan aturan tersebut: pertama belum tercakupnya pajak atas pendapatan pasif atau passive income. Kata dia, di saat ini trennya passive dunia income, bukan dividen. “Passive income tak tercapture di sini,” ujarnya, Kamis (3/8).
Kedua, batasan kepemilikan saham atas perusahaan cangkang 50% juga sudah kuno. “Di negara-negara lain sudah turun 10%,” kata dia. Kata Yustinusm batasan kepememilikan saham itu terlalu tinggi dan mudah diakali. Apalagi Indonesia menerapkan self assesment. Alhasil, pemerintah baru mengetahui jika wajib pajak (WP) mengakui kepemilikan sahamnya.
Karena itu, menjadi pekerjaan rumah bagi aparat pajak untuk membuktikan bahwa pengusaha RI punya saham di perusahaan non bursa di luar negeri. “Kalau ada indikasi, bisa minta pertukaran informasi dengan negara terkait by request, tapi tax haven pasti tak kooperatif,” ujarnya.
Pemilik perusahaan off shore sangat mungkin mengubah kepemilikan saham dengan nama perusahaan. Alhasil kata Prastowo, efektivitas aturan ini masih butuh pembuktian dalam menambah penerimaan anti-avoidance.
Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research menambahkan, aturan ini sulit membuat pemerintah lebih agresif dalam memagari celah penghindaran pajak. “Pertanyaannya, bagaimana Ditjen Pajak mendeteksi kepemilikan tak langsung BULN nonlisted wajib pajak dalam negeri,” katanya.
Lebih spesifik
Ernst & Young Transaction Tax Services Partner Ben Keosmoeljana berharap aturan ini tak menjadi disinsentif bagi pengusaha. “Jangan malah menahan perusahaan Indonesia jadi kompetitif di luar negeri,” kata Ben
Ben bilang, aturan CFC di negara lain lebih spesifik ketimbang yang dimiliki Indonesia. Walau dalam aturan baru ini ada perubahan lingkup pengenaan deemed dividend atau dividen yang ditetapkan atas penyertaan modal pada badan usaha luar negeri, menjadi diterapkan ke badan usaha luar negeri non-bursa yang dikendalikan tak langsung “Negara lain lebih spesifik seperti active income atau passive income,” ujarnya.
Hanya pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, perubahan ruang lingkup deemed dividend yang diterapkan ke badan usaha luar negeri non-bursa yang dikendalikan secara tidak langsung sangat positif. “Dewasa ini praktik penghindaran pajak tak hanya dilakukan satu layer kepemilikan saja, tapi pengendalian bertingkat,” ujarnya, Rabu (2/8).
Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo bilang, aturan ini untuk mengejar orang yang berinvestasi di luar negeri namun dividen dari investasi nya tak pernah sampai ke Indonesia. “Mereka mengguna kan SPV untuk terima dividen,” katanya.
Sumber : Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar