JAKARTA. Otoritas pajak akan lebih gencar menyisir pajak dari sektor ekonomi digital. Tidak hanya perusahaan over the top (OTT), tapi juga pelaku bisnis e-commerce. Makanya, Direktorat Jendral Pajak Kemkeu tengah menyiapkan tata caranya . Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal mengakui, pengumpulan pajak e-commerce belum sempurna. Salah satunya karena tak adanya data lengkap pelaku usaha ini. “Kalau beli barang, kemudian barang itu belinya di online marketplace, kemungkinan pajaknya belum ter-collect sempurna,” katanya, beberapa waktu lalu.
Ditjen Pajak saat ini baru bisa menarik pajak dari pemain besar bisnis digital online. “Yang susah adalah pemain yang kecil-kecil. Databasenya belum seluruhnya kami punya. Meski sudah berkembang terus databasenya, tapi ini tidak bisa sekaligus selesai,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, perubahan pola tren belanja e-commerce bisa membuat negara berpotensi kehilangan penerimaan pajak sekitar Rp 20 triliun. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang responsif dan sesuai kondisi industrinya. “Artinya, negara dapat pajaknya, tapi tidak mengganggu investasinya. Apalagi yang di level start up,” ujarnya, Kamis (3/8).
Ini bisa dilakukan jika Indonesia memakai sistem withholding tax dengan tarif rendah. “Misal 1%, tak terlalu tinggi tapi mereka berkontribusi . Yang penting masuk dulu, daripada tidak sama sekali,” katanya. Untuk menjaring pajak perusahaan OTT, Indonesia mengkaji skema diverted profit tax seperti yang berlaku Inggris dan Australia. Skema itu memberikan beban pajak penghasilan (PPh) yang lebih besar ke penyedia OTT. Kajian ini masuk di revisi UU PPh.
Sumber : Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar