Beberapa hari yang lalu, Presiden Jokowi memanggil 18 menteri untuk menjelaskan tentang fenomena penurunan daya beli yang tengah terjadi. Indikator penurunan daya beli adalah penjualan ritel, berdasarkan data Aprindo selama bulan Ramadhan, terus anjlok sejak lima tahun terakhir. Penjualan ritel pada Ramadhan 2012 masih tumbuh 38,7% dan pada Ramadhan Juni 2017 hanya mampu tumbuh 5%.
Di sisi yang lain, ada kenaikan dana simpanan di perbankan, dan pemerintah mencatat pajak pertambahan nilai (PPn) pada semester I-2017 tumbuh 13% dibanding periode sama tahun sebelumnya. Tentu ini sebuah misteri yang perlu dilacak penyebabnya dan dicari solusinya.
Berbagai teori untuk menjelaskan anomali daya beli pun bermunculan, salah satunya dikaitkan dengan perkembangan toko online. Tentu argumentasi ini mudah disanggah karena porsi toko online masih di bawah 1% dari total ritel nasional. Teori Shifting transaksi dari toko konvensional ke toko online sebagai penyebab rendahnya penjualan ritel yang lesu tampaknya masih belum bisa dibuktikan.
Pergeseran belanja ke transaksi online juga dibantah oleh data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) yang mencatat secara nasional omzet pedagang pasar tradisional turun 38% pada semester I-2017. kalau memang faktornya karena pindah ke toko online, harusnya pedagang pasar tradisional tidak terkena dampaknya, karena jenis barang yang dijual relatif berbeda.selain shifting transaksi dari toko konvensional ke toko online dinilai sebagai penyebab utama, belakangan pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa penurunan daya beli hanyalah mitos karena pertumbuhan pajak pertambahan nilai (PPN) justru tumbuh. Fenomena ganjil ini perlu didalami lebih jauh. Faktanya, kenaikan pertumbuhan PPN lebih disebabkan oleh kepatuhan wajib pajak atau tax compliance pasca-tax amnesty yang meningkat terutama di kalangan wajib pajak badan usaha.
Faktor lainnya adalah sebagian badan usaha sudah mengaplikasikan pelaporan PPN menggunakan e-faktur. dari situ terlihat bahwa naiknya PPN tidak mencerminkan pertumbuhan transaksi bisnis.
Kelesuan Terjadi
Sejak 2014Lalu, apa penyebab utama penurunan daya beli? Tidak bisa dimungkiri bahwa daya beli memang melemah sejak tahun 2014 lalu, diiringi oleh kelesuan ekonomi global yang memengaruhi harga komoditas dan ekspor Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya tercatat 5,56% pada tahun 2013 terus merosot hingga 5% pada 2016 lalu. Beberapa sektor seperti perkebunan dan pertambangan bahkan sempat mencatatkan penurunan yang cukup tajam selama dua tahun terakhir.
Selain itu terdapat beberapa faktor lain yang jadi penyebab lesunya permintaan masyarakat. Pertama, penyesuaian tarif listrik golongan 900 VA sejak awal Januari hingga Mei 2017 telah menggerogoti pendapatan masyarakat. apalagi, kenaikan tarif listrik pun tak tanggung-tanggung, lebih dari 100%.
Meskipun alasan yang digunakan pemerintah agar subsidi lebih tepat sasaran, faktanya pencabutan subsidi listrik punya multiplier effect yang buruk bagi perekonomian.Faktor kedua berkaitan dengan penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi akibat fenomena deindustrialisasi.
Porsi sektor industri manufaktur pada era Orde Baru bisa mencapai 28% terhadap PDB, dan kini tinggal 20%. Otomatis, serapan tenaga kerja yang tercipta pun menu-run. Hal ini juga dikonfirmasi oleh data Badan koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menyebutkan bahwa serapan tenaga kerja pada semester I-2017 menurun hingga 141 ribu orang jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Penyerapan tenaga kerja yang rendah akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat. kalau pendapatan masyarakat secara umum tidak mengalami kenaikan yang signifikan, maka purchasing poweratau daya belinya otomatis menurun. Faktor ketiga yang memengaruhi daya beli adalah suku bunga kredit perbankan yang relatif masih mahal, sehingga mengikis pendapatan masyarakat, terutama untuk mencicil kredit konsumtif seperti kendaraan bermotor dan elektronik.
Saat ini suku bunga dasar kredit rata-rata berada di atas 10%. ketika pendapatan masyarakat sedang lesu, sementara suku bunga kredit masih mahal, imbasnya adalah ability to payatau kemampuan bayar cicilan utang menjadi semakin rendah. Masyarakat tengah terjepit pembayaran cicilan pokok utang plus bunga yang mahal, sehingga menahan belanja barang-barang kebutuhan pokok.
Saatnya Stimulus Moneter
Kondisi pelemahan daya beli kalau terus dibiarkan tentu dampaknya akan merembet bukan hanya ke sektor ritel. Penerimaan pajak pun terancam mengalami shortfall cukup besar pada tahun ini. Tapi di tengah pesimisme yang beredar, sebenarnya banyak jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia.
Pemerintah memang sudah mengeluarkan 15 paket kebijakan ekonomi yang menyangkut seluruh persoalan dasar daya saing. Mulai dari deregulasi hingga logistik, semuanya dibahas. Tapi masalahnya, paket kebijakan ekonomi tidak cukup tanpa campur tangan kebijakan moneter.Belajar dari negara lain seperti di eropa dan amerika serikat, ketika ekonomi mengalami kelesuan, sementara dorongan dari sisi fiskal terbatas, maka jalan satu-satunya yang tersisa adalah stimulus moneter.
Pascakrisis surat utang di Eropa tahun 2013 lalu, Bank Sentral Eropa (ECB) mengeluarkan kebijakan suku bunga negatif. Jadi bukannya mendapatkan untung ketika menabung di bank, tabungan nasabah justru makin berkurang. strategi ini terbukti ampuh dalam memacu masyarakat untuk berbelanja lebih banyak. amerika serikat pun melakukan hal yang mirip dengan suku bunga nyaris di bawah 1% selama empat tahun. Hasilnya, pengangguran turun cukup ekstrem hingga mencapai angka 4,4% pada tahun 2017.
Langkah Bank Indonesia untuk memulai stimulus moneter tentu perlu didukung. Bentuk stimulus moneter memang beragam. Tapi yang paling penting sekarang adalah menurunkan suku bunga acuan secara agresif. kalau memang BI ingin melakukan stimulus moneter, hal pertama adalah menurunkan 7-days repo ratedari 4,75% menjadi 4%. Tujuannya untuk memacu bank agar menyalurkan kredit lebih besar ke sektor riil. Turunnya suku bunga acuan juga penting agar dana yang mengendap di deposito maupun surat utang dapat tersalur ke masyarakat.
Pada akhirnya stimulus moneter akan menimbulkan dorongan untuk mulai membelanjakan barang, dan berinvestasi di sektor riil. Stimulus moneter lainnya yang bisa dicoba BI adalah menaikkan secara bertahap rasio Loan to Value(LTV) dari posisi saat ini 85% menjadi 90-95%. dengan kenaikan LTV, otomatis persyaratan down payment (DP) kredit akan lebih rendah. dengan syarat DP 5%, debitor bisa mencicil kredit kendaraan bermotor atau kredit pemilikan rumah (KPR).
Contohnya soal kredit pemilikan rumah, dengan asumsi nilai kredit properti setara Rp 100 juta, maka dengan DP 5% atau sebesar Rp 5 juta, seseorang sudah bisa mengajukan cicilan rumah baru, tentunya tanpa menghilangkan prinsip kehati-hatian.
Perubahan LTV diharapkan meringankan beban masyarakat untuk mengambil kredit, baik untuk pembelian properti maupun kendaraan bermotor. kebijakan ini diyakini akan sangat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah, terlebih daya beli kelompok ini cukup lemah sejak tiga tahun lalu.
Upaya peningkatan daya beli melalui stimulus moneter bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Pemerintah dan Bank Indonesia harus bergotong-royong untuk meramu paket stimulus yang pas, sehingga dampaknya langsung dirasakan tanpa ada jeda yang terlalu panjang. Optimisme harus terus dibangun, dengan stimulus pemerintah dan BI, kita berharap fenomena lesunya daya beli tidak akan berlangsung lama.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar