Daya Beli nan Lesu Menohok Bisnis Ruko

Meski penjualan turun, pengembang property tetap membangun ruko baru

JAKARTA. Indikator penurunan daya beli secara umum tergambar dalam kinerja sejumlah sektor industry. Ambil contoh, tingkat kekosongan penyewaan kantor dan ruang ritel atau rumah toko (ruko) yang meningkat.

Hasil riset sejumlah lembaga survei membenarkan kecenderungan itu. Bisnis pembiayaan property menguatkan sinyalemen tersebut. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sejak Februari 2015 rasio kredit bermasalah (NPL) di sektor ruko dan perkantoran cenderung naik.

Sampai Juni 2017, OJK mencatat, NPL ruko mencapai 4,58% atau tertinggi dalam kurun lima tahun terakhir. Tingginya NPL ruko ini diduga akibat penjualan usaha ruko yang menurun. Tak ayal, permintaan terhadap ruko pun terkena imbas.

Kondisi ini setidaknya tampak dari kinerja keuangan PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) per semester I-2017 yang hanya mencatatkan penjualan ruang perkantoran dan ruko Rp 33,3 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, pendapatan usaha ini mencapai Rp 87,2 miliar.

Begitu pula dengan jasa penyewaan ruang kantor, ruko dan pabrik sama-sama terkoreksi. Sepanjang enam bulan pertama 2017, angkanya turun menjadi Rp 21,08 miliar dari perolehan periode sama tahun lalu Rp 38,7 miliar. Meski demikian, Direktur KIJA Sutedja Darmono masih optimistis penjualan ruko pada semester II-2017 bisa membaik.

Apalagi, dia mencatat sektor ruko memberikan kontribusi sekitar 20% dari total pendapatan Jababeka. Saat ini terdapat 1.000 lebih unit ruko di kawasan strategis Kota Jababeka, Cikarang. “Penjualan ruko secara umum cukup baik,” sebutnya kepada KONTAN, Kamis (10/8).

Sutedja menuturkan, sepanjang semester I-2017 lalu dua ruko yang dibangun KIJA, yakni Hollywood Boulevard pada April lalu dan Sudirman Boulevard yang diluncurkan awal Agustus ini sudah terjual habis. Harga ruko di dua lokasi tersebut dijual antara Rp 1 miliar – Rp 5 miliar.

Stok sedikit

Emiten pengembang lainnya, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) juga mengalami hal yang sama seperti Jababeka. Penjualan kantor dan ruko mereka di separuh pertama tahun ini hanya Rp 185,7 miliar. Sedangkan periode yang sama tahun lalu, APLN mampu menorehkan penjualan Rp 392,1 miliar atau 18% dari total penjualan.

Sekretaris Perusahaan APLN Justini Omas bIlang, pencapaian tersebut bukan sebagai melemahannya kinerja penjualan ruko dan perkantoran. “Bukan berarti turun tapi karena stoknya juga sudah tinggal sedikit dibandingkan tahun lalu,” kilahnya kepada KONTAN, Kamis (10/8).

Bahkan, dalam waktu dekat ini Agung Podomoro berencana membangun ruko baru di salah satu kawasan residensial. Sayang, Justini ogah menyebut waktu dan lokasi. Kini APLN memiliki 550 unit ruko yang tersebar di sebagian besar kawasan residensial milik perusahaan ini. “Per Juni 2017, ruko dan perkantoran berkontribusi 6% terhadap total penjualan,” imbuhnya.

Adapun PT Ciputra Development Tbk (CTRA) tidak ambil pusing dengan pasar ruko yang mulai suram. “Ruko biasanya hanya pelengkap sebuah community, bukan produk utama kami yaitu residensial,” aku Harun Hajadi, Presdir Ciputra Development Tbk.

Setali tiga uang, Olivia Surodjo, Sekretaris Perusahaan Metropolitan Land Tbk berujar, kontribusi penjualan ruko sangat kecil sehingga tak berpengaruh besar. ”Total tidak sampai 10% dari satu size perumahan,” ujarnya.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar