Menimbang Pajak Freeport, Antara Skema Nail Down Vs Prevailing

Pemerintah masih menggodok formula pajak untuk PT Freeport Indonesia seiring perubahan status operasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu dari Kontrak Karya (KK) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Formula yang digodok meliputi sistem perpajakan tetap (nail down) hingga kontrak operasi habis dan sistem perpajakan tidak tetap (prevailing) yang memungkinkan besaran pajak yang dibayar Freeport bisa berubah-ubah di tengah jalan.

Sejak awal, Freeport “ngotot” menginginkan sistem perpajakan nail down seperti ketentuan di dalam KK.

Sistem pajak ini dinilai lebih menguntungkan lantaran Freeport bisa membuat proyeksi bisnis jangka panjang tanpa pusing menghitung besaran pajak.

Melalui sistem perpajakan nail down, besaran pajak Freeport sudah ditetapkan di awal kontrak dengan pemerintah.

Besaran pajak itu berlaku tetap hingga kontrak operasi perusahaan asal AS itu berakhir.

Sistem pajak nail down jelas lebih disukai perusahaan besar dengan investasi besar seperti Freeport karena memberikan kepastian untuk dunianya.

Sistem Pajak Prevailing

Lantas bagaimana dengan sistem perpajakan prevailing? Merugikan Freeport kah?

Direktorat Jenderal Pajak sempat mengungkapkan, perubahan status KK ke IUPK dengan sistem perpajakan prevailing bukan berarti selalu meragukan perusahaan.

Ditjen Pajak justru mengungkapkan, Freeport bisa membayar pajak lebih rendah bila mengunakan prevailing.

Sebab ada kecenderungan pajak perusahaan tambang mengalami penurunan akibat sektor yang sedang lesu.

Namun, sistem perpajakan prevailing juga memungkinkan Freeport membayar pajak lebih tinggi ke negara bila kondisi sektor pertambangan menggeliat. Artinya pemerintah bisa dapat pemasukan lebih besar.

Nail Down Vs Prevailing

Menanggapi dua skema pajak untuk Freeport itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memberikan penilaian tersendiri.

Dia menilai, sistem perpajakan nail down justru akan lebih menguntungkan negara ketimbang prevailing.

“Dengan tarif (pajak) ke depan akan turun, maka nail down akan menguntungkan pemerintah,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (30/8/2017).

Meski begitu, pengunaan sistem perpajakan nail down juga bisa membuat potensi pajak yang lebih besar melayang jika sektor pertambangan kembali rebound di kemudian hari.

Yustinus menyarankan agar pemerintah mengambil jalan tengah dengan menyisipkan poin negosiasi pajak di dalam klausul Izin Usaha Pertambangan Khusus milik Freeport.

Dengan adanya poin negosiasi, pemerintah bisa kembali duduk bersama Freeport membicarakan besaran pajak perusahaan tambang itu sesuai kondisi sektor pertambangan.

“Jika ada perubahan kebijakan pemerintah yang radikal dan berpengaruh signifikan pada penerimaan negara, dapat dilakukan negosiasi dalam masa kontrak,” ucap Yustinus.

Saat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani masih menggodok formula pajak yang tepat untuk Freeport.

Ia memastikan, pemerintah menginginkan setoran yang lebih besar dari Freeport setelah menanggalkan status KK.

Nantinya, formula pajak untuk Freeport akan tercantum langsung di dalam dokumen IUPK dan Peraturan Pemerintah (PP) terkait dengan IUPK yang akan di keluarkan dalam waktu dekat.

Sumber : kompas.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar