
Tidak hanya perizinan yang cepat, pengusaha menilai kepastian regulasi lebih diperlukan untuk mitigasi risiko bisnis
JAKARTA. Tak ingin kehilangan momen, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menantang para pengusaha untuk segera merealisasikan investasinya.
“Apa lagi yang harus di wait and see,” ujar Presiden saat Pencatatan Perdana Kontrak Investasi Kolektif – Efek Beragun Aset (KIK – EBA) Mandiri- PT Jasa Marga Tbk di Bursa Efek Indonesia, Kamis (31/8).
Menurut Presiden, pebisnis harus optimis. Nyaris semua komponen yang dibutuhkan pengusaha tersedia. Mulai bunga dan inflasi rendah, tingkat kepercayaan ke pemerintah yang tinggi, raihan peringkat layak investasi atau investment grade dari semua lembaga pemeringkat dunia serta tersedianya infrastruktur. Bekal ini harusnya jadi modal pebisnis merealisasi rencana bisnisnya yang selama ini ditahan. “Jangan sampai momentum ini hilang,” ujar Presiden.
Apalagi, pemerintah kembali akan memberikan amunisi baru yakni kemudahan layanan perizinan lewat Peraturan Pemerintah (Perpres) tentang Percepatan Pelaksaan Berusaha.
Kemudahan berusaha akan memangkas waktu perizinan, aturan tumpang tindih akan dibabat. Ini masih ditambah hadirnya satuan tugas (satgas) untuk mengawal kebutuhan perizinan investasi hingga realisasi investasi investasi pengusaha.
Namun apakah ini yang dibutuhkan pengusaha? Para pebisnis yang dihubungi KONTAN menyebut: kepastian regulasi lebih penting ketimbang layanan perizinan yang cepat. Kebijakan teknis pemerintah yang kerap berubah menjadi alasan mengapa sampai saat ini pengusaha nasional wait and see.
Dari sektor infrastruktur, para pengusaha menyebut kemudahan berusaha tak hanya dari perizinan cepat, tapi kepastian model bisnis dan tata kelola proyek. “Proyek infrastruktur jangka panjang. Pengusaha butuh asumsi matang untuk kalkulasi risiko dan model pembiayaannya, maka kepastian model penting,” kata Head of Business Development PT Astratel Nusantara (Astra Infra) Krist Ade Sudiyono.
Pengusaha infrastruktur kerap bingung dengan model bisnis proyek yang ditawarkan pemerintah yang acap berganti. Salah satunya: patokan internal rate of return (IRR) berubah saat proyek jalan. Bahkan IRR yang semula disepakati, bisa dinegosiasi lagi.
Keluhan sama juga diungkapkan pengusaha tambang. Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) Ido Hutabarat dan Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia kompak bilang, pengusaha tambang minta kepastian regulasi.
“Beda dengan manufaktur, saat tahun berjalan dan ada persoalan, bisa demonstrasi, lalu relokasi. Tambang tak bisa harus menghabiskan kontrak,” ujar Hendra. Pemerintah harus memperbaiki kepastian regulasi mulai dari perpajakan, lingkungan, dan izin di daerah.
Ido menambahkan investasi sektor tambang lambat karena melemahnya harga komoditas tambang dan kepastian investasi yang tak jelas “ Di mineral, kami wajib membangun smelter, tapi tak ada kepastian setelah membangun ada kepastian perpanjangan kontrak atau tidak. Ini mengkhawatirkan,” katanya.
Dari sektor makanan dan minuman, Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S. Lukman bilang, pemerintah harus melihat aturan teknis di lapangan, termasuk koordinasi dengan daerah. “Kendala izin yang mendasar di daerah dan kementerian terkait,” ujar dia. Meski proses pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) cepat, pengusaha harus menunggu lama untuk izin teknis kementerian terkait.
Aturan teknis inilah, membuat realisasi invesatsi lambat. “Contohnya kebijakan lelang gula rafinasi, kebijakan garam, hingga penentuan harga eceran tertinggi (HET) sejumlah komoditas,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Pertanian Anton Supit.
Tak hanya memperhatikan kemudahan invesatsi baru, kata Anton, pemerintah juga harus memperhatikan bisnis yang existing. “Perlu ada yang memonitor semua problem di bisnis existing,” katanya. Apalagi, dua tahun mendatang adalah tahun politik.
Pilkada langsung dan Pilpres 2019 membuat pengusaha wait and see. “Ini masalah persepsi pengusaha akan konservatif,” kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Harijanto.
Inilah Kebijakan Penghambat Investasi Versi Pengusaha
Energi & SDA
- Pengusaha menolak pembatasan tarif energi baru terbarukan (EBT) maksimal 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) dari PLN. (Permen ESDM No 12/2017)
- Pengusaha yang sudah membangun smelter menolak dibukanya kembali keran ekspor mineral mentah (PP 1/2017, Permen ESDM 5/2017, dan Permen ESDM 6/2017)
- Kepastian regulasi skema gross split dinilai kurang menarik terutama pada kontrak eksplorasi (Permen ESDM No.8/2017)
- Perusahaan Kontrak Karya (KK) menolak divestasi saham yang mencapai 51% (Permen ESDM No.9 Tahun 2017)
- Pengusaha menolak adanya persetujuan Menteri ESDM atas perubahan kepemilikan saham, pengalihan interest dan kepengurusan perusahaan, termasuk perubahan direksi dan/ atau komisaris (Permen ESDM No.42/2017)
Infrastruktur
- Butuh kepastian model bisnis dan tata kelola proyeknya contohnya soal patokan nominal Internal Rate of Return (IRR) yang kerap berubah saat proyek tengah berjalan
- Peranan perusahaan BUMN yang dinilai terlalu mendominasi
Perkebunan
- Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 17 Tahun 2017 Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)
- Aturan tentang pengelolaan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter dinilai berpotensi mengakibatkan jutaan tenaga kerja di bidang perkebunan dan kehutanan kehilangan pekerjaannya
Ritel
- Mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat sehingga omzet menurun. Pengusaha ritel berharap ada upaya pemerintah menaikkan daya beli
- Pengusaha mengalami kendala dalam perizinan utamanya di daerah
- Kendala terutama terkait tata ruang wilayah (RTRW) Perizinan prinsip peruntukan lahan masih harus menunggu kesiapan kajian RTRW
Otomotif
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penerapan Bahan Bakar Standar Euro 4
- Secara bertahap mulai 2018 hingga 2021, seluruh kendaraan yang beroperasi di Indonesia wajib menggunakan BBM dengan standar Euro 4
- Saat ini BBM yang tersedia di Indonesia masih standar Euro 2
- Dengan aturan ini, produsen kendaraan harus mengubah spesifikasi mesin
TPT
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 176 tahun 2013 tentang kemudahan impor tujuan ekspor (KITE)
- Pemerintah memperbolehkan impor barang untuk diproduksi lagi di dalam negeri dengan tujuan ekspor paling tidak 50%
- Namun kemudahan impor tersebut banyak diselewengkan, sehingga merugikan industry di dalam negeri. Banyak industri justru melakukan impor dan menjual produk tersebut lebih banyak di dalam negeri ketimbang ekspor
Makanan dan Minuman
- Aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) di sejumlah komoditas seperti gula, beras, dan minyak. (Permendag Nomor 27 tahun 2017 tentang harga acuan pembelian di tingkat petani dan penjualan di tingkat konsumen)
- Pengusaha beras menolak HET penjualan beras ke konsumen sebesar Rp 9.000 per kg. Kementerian Perdagangan merevisinya. Dalam ketentuan terbaru, HET untuk nears medium dan premium dibedakan dan berbeda-beda setiap daerah
- Kebijakan lelang gula rafinasi, kebijakan garam yang belum memberikan kepastian bahn baku bagi industry makanan dan minuman.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan komentar