Menambah Wajib Pajak

Penerbitan peraturan menteri keuangan untuk mencegah penghindaran pajak antarnegara sudah tepat. Selama ini, Indonesia sangat dirugikan akibat praktik penghindaran pajak dengan mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Hong Kong dan Singapura, lewat modus transfer pricing misalnya. Di sisi lain, banyak wajib pajak (WP) yang sudah membayar pajak mengeluh karena terus dikejar-kejar petugas pajak.

Untuk mengatasi penghindaran pajak antarnegara, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107 Tahun 2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek. PMK yang mencabut PMK Nomor 256 Tahun 2008 yang mengatur hal yang sama tersebut mempertegas aturan perpajakan terkait controlled foreign companies (CFC) atau perusahaan di luar negeri yang dikendalikan oleh wajib pajak dalam negeri. Kehadiran CFC rules yang kuat diperlukan Indonesia yang menerapkan prinsip worldwide income, yaitu subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak dari penghasilan yang bersumber dari dalam maupun luar negeri.

Selama ini, CFC maupun perusahaan yang dikendalikan asing banyak melakukan transfer pricing, yaitu transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi atau perusahaan di dalam dan luar negeri pada suatu kelompok usaha dengan harga tidak wajar. Kecurangan ini bisa dilakukan dengan menurunkan harga (mark down), untuk menurunkan jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen di dalam negeri menjadi rendah. Negara dirugikan puluhan triliunan rupiah karena praktik transfer pricing ataupun penghindaran pajak yang lain, baik oleh perusahaan asing maupun perusahaan asal Indonesia.

Perusahaan tersebut sudah banyak mengeruk kekayaan alam pertambangan, perkebunan, dan kehutanan ataupun mengeksploitasi pasar Indonesia yang luar biasa besar, namun keuntungannya justru ditransfer ke negara asing yang pajaknya sangat kecil atau bahkan tidak mengenakan pajak (tax haven). Praktik penghindaran pajak ini banyak dilakukan perusahaan sawit maupun tambang batu bara yang melakukan ekspor besar-besaran selama puluhan tahun dan sudah menjadi sangat kaya raya.

Bila dilihat dari realisasi penerimaan pajak, memang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih harus bekerja keras. Meski lebih tinggi dibandingkan penerimaan pajak periode sama tahun lalu, hingga Agustus 2017, realisasinya baru sekitar 53,5 persen (Rp 686 triliun) dari target pajak Rp 1.283 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017.

Kendati harus menggenjot realisasi penerimaan pajak, pajak ini tetaplah harus dipungut berdasarkan kemampuan atau tambahan kemampuan ekonomi seseorang maupun perusahaan, baik lewat pajak pertambahan nilai (PPn) yang dibebankan kepada konsumen maupun kemampuan perusahaan mencetak laba. Jadi, jika perusahaan tercatat merugi, ya tidak kena pajak penghasilan (PPh), kecuali mereka yang terbukti curang dengan misalnya melakukan transfer pricing.

Jika didasarkan pada kemampuan ekonomi atau tambahan kemampuan ekonomi seseorang atau perusahaan, ini berarti upaya menggenjot penerimaan pajak itu tidak boleh dilakukan dengan menambah jenis pajak baru. Pemerintah juga tidak boleh menaikkan tarif pajak, apalagi pertumbuhan ekonomi kita masih tertekan, hanya sekitar 5 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Ke depan, pemerintah harus terus menambah basis wajib pajak baru dengan membenahi aturan perpajakan dan penegakan hukum yang efektif menggali potensi pajak yang selama ini belum tersentuh, atau masih bisa menghindar. Pemerintah harus proaktif menegosiasikan perbaikan sistem perpajakan bilateral dan internasional yang masih bisa dimanfaatkan untuk penghindaran pajak antarnegara.

Ini misalnya mempercepat negosiasi Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) dengan negara yang tidak menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), seperti tax haven Panama dan Bahama.
Pemerintah harus cepat memanfaatkan momentum pemberantasan praktik penghindaran pajak antarnegara yang sudah menjadi komitmen dunia. Setidaknya, sudah ada ratusan negara yang ingin menerapkan era keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang benar.

Di sisi lain, dalam memaksimalkan potensi pajak, rencana DJP yang akan menerapkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan harus disosialisasikan secara baik, sehingga tidak menimbulkan kepanikan ataupun merugikan industri terkait misalnya perbankan. UU yang merupakan pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tersebut akan menyudahi era kerahasiaan data perbankan untuk kepentingan perpajakan. Beleid yang mulai berlaku per 23 Agustus 2017 ini juga untuk memenuhi persyaratan implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI) secara internasional.

Ketentuan untuk kepatuhan pajak itu tidak hanya berlaku pada wajib pajak dalam negeri, melainkan juga bagi seluruh warga Indonesia yang berada di luar negeri. Per April tahun depan, DJP sudah bisa meminta dan mendapatkan secara otomatis data WP Indonesia yang berada di luar negeri yang nilai rekeningnya di atas Rp 1 miliar.

Selain itu, DJP perlu mengumumkan perusahaan yang mengemplang pajak, seperti di negara maju. Pada tahun 2004, otoritas pajak Australia pernah mengumumkan kasus transfer pricing oleh perusahaan otomotif PMA Jepang. Dengan diumumkan ke publik, masyarakat pun bisa melakukan tekanan moral ke perusahaan yang melakukan kecurangan itu.

Pengenaan pajak juga harus disesuaikan dengan perkembangan, misalnya terkait munculnya bisnis e-commerce di mana asing bisa menghindari pajak. Pasalnya, ke depan adalah era e-commerce yang sebagian juga akan menggantikan bisnis konvensional.

Pengenaan pajak pada e-commerce ini harus mengedepankan asas kepastian hukum, keadilan, dan netralitas, yang sekaligus tetap menjaga e-commerce tumbuh. Indonesia jangan sampai hanya menjadi pasar, namun juga harus memperoleh manfaat sebesar-besarnya untuk menumbuhkan UKM dan industri dalam negeri. E-commerce ini bisa menjadi solusi untuk memasarkan produk Indonesia ke end user, yang selama ini lebih banyak menggunakan perantara seperti pedagang Singapura yang menguasai jaringan perdagangan ekspor. Bisnis berbasis teknologi digital ini pembukuannya juga jauh lebih jelas.

Untuk itu, perusahaan e-commerce asing yang mendapatkan keuntungan dari transaksi di Indonesia atau dari konsumen yang berdomisili di Indonesia harus dipastikan membayar pajak dengan benar. Untuk dapat bertransaksi di pasar Indonesia yang menggiurkan, mereka harus diwajibkan mendirikan perusahaan di dalam negeri dan membayar semua kewajiban pajaknya.

Jika pemerintah RI bisa memblokir sementara layanan Telegram sehingga tak bisa diakses pengguna Indonesia, karena pesaing WhatsApp tersebut membiarkan konten promosi radikalisme dan terorisme yang membahayakan keamanan nasional, tentunya pemblokiran juga bisa dilakukan untuk alasan keamanan ekonomi nasional. Tindakan tegas ini membuat CEO Telegram Pavel Durov akhirnya datang ke Jakarta dan mengikuti aturan main di Indonesia, termasuk menutup kanal terorisme dalam hitungan jam.

Jika perusahaan e-commerce asing dibiarkan terus beroperasi tanpa membayar pajak dengan benar, hal itu juga menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku ekonomi di dalam negeri yang kena pajak. Industri di dalam negeri akan dirugikan karena layanannya yang terkena pajak menjadi lebih mahal, sehingga ditinggalkan konsumen.
Jadi, upaya memaksimalkan penerimaan pajak harus lebih dulu mengedepankan ekstensifikasi atau menambah WP baru, secara berkeadilan. Jangan sampai DJP ingin berburu namun perginya ke kebun binatang.

Sumber : beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar