Kementerian Keuangan berupaya menggali potensi pajak dari perdagangan dalam jaringan (e-commerce). Aturan tentang pemajakan bisnis daring ditargetkan rampung dalam bulan ini.
”Esensinya adalah level of playing field. Ketaatan bisnis konvensional dan elektronik sama. Jangan sampai yang satu taat, yang lain tidak,” kata Ketua Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara di gedung DPR kemarin (5/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menambahkan, selama ini mekanisme pelaporan oleh wajib pajak (WP) bersifat pelaporan sendiri (self assesment).
Namun, karena belum ada aturan tentang teknis pajak e-commerce, pihaknya akan menggunakan aturan sesuai dengan undang-undang pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Meski begitu, dalam aturan pajak khusus e-commerce, ada sejumlah perbedaan dalam self assesment. ”Karena banyak self assesment yang tidak mau lapor,” katanya.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol menjelaskan, pada prinsipnya, pajak untuk e-commerce mengedepankan asas kepastian hukum, keadilan, kesederhanaan, dan netralitas. Ditjen Pajak ingin memastikan ada aspek keadilan antara pedagang yang konvensional maupun daring.
Untuk memastikan hal itu, ketetapan pajak bagi e-commerce harus disesuaikan dengan yang selama ini diterapkan untuk perusahaan konvensional. Ke depan, Ditjen Pajak mengikuti rekomendasi dari satuan tugas yang dibentuk Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Sejauh ini, ada tiga jenis pajak yang direkomendasikan. Yakni, pemotongan, equalization levy seperti yang diterapkan di India, ataupun diverted profit tax seperti yang dilakukan di Inggris dan Australia.
”Pajak e-commerce berdasar ketentuan yang berlaku. Apakah PPh atau tax treaty? Sepanjang dia penuhi persyaratan di tax treaty, badan usaha tetap bisa jadi wajib pajak,” ungkap John.
Secara terpisah, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo menyatakan, bank sentral selaku regulator makroprudensial dan sistem pembayaran telah melakukan sinkronisasi aturan tentang national payment gateway (NPG) untuk transaksi e-commerce.
Dengan sinkronisasi tersebut, seluruh transaksi pembayaran ritel, baik melalui ATM, kartu debit, electronic data capture, maupun uang elektronik yang dilakukan dalam kegiatan e-commerce, dapat terkoneksi. ”Seluruh transaksi domestik antara penjual dan pembeli bisa terekam dalam sistem,” jelasnya.
Sesuai peraturan Bank Indonesia tentang national payment gateway, tiga operator yang terdiri atas lembaga standarisasi, switching, dan services berada dalam satu kesatuan. ”Semua pemegang account di Indonesia cukup punya satu kartu yang bisa digunakan untuk semua bank. Itu adalah NPG,” tambah Agus.
Dengan infrastruktur yang saling terhubung, efisiensi dan penghematan devisa akan besar sekali. Sebab, selama ini pemrosesan atau routing transaksi pembayaran masih dilakukan di luar negeri.
Sumber : jawapos.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar