Kondisi ekonomi eksternal masih menjadi sentimen utama bagi pergerakan ekonomi dalam negri pada tahun depan. Faktor eksternal diperkirakan menyumbang separuh dari bobot kondisi ekonomi domestik.
”Faktor eksternal ini sulit diperkirakan. Kalau datanya apa bobotnya (pada nilai tukar rupiah, Red), sangat mungkin bisa di atas 50 persen,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR kemarin (11/9).
Sebagai negara yang sedang berkembang, lanjut dia, Indonesia membutuhkan aliran modal. Baik mengalir ke surat utang negara (SUN), masuk ke pasar modal, maupun utang korporasi. Sejauh ini, kondisi aliran modal banyak dipengaruhi tren ekonomi global. Dari kalkulasi bobot 50 persen tersebut, kondisi sektor ekonomi di AS menjadi penyumbang utama.
Kondisi ekonomi AS pada tahun depan harus terus diwaspadai dengan penuh kehati-hatian. Sebab, tren kenaikan suku bunga Federal Fund Rate (FFR) masih berlanjut. Tahun ini FFR diprediksi hanya naik dua kali. Pada tahun depan, FFR diprediksi naik 2–3 kali. Pada saat yang sama, suku bunga di European Central Bank (ECB) pada tahun depan diperkirakan terus meningkat.
Jika FFR terus naik pada 2018, daya tarik mata uang negara-negara emerging market menjadi kurang menarik jika dibandingkan dengan tahun ini. ”Maka, pada 2018–2019, kita akan menghadapi situasi suku bunga AS naik dan suku bunga Eropa naik dari teritori negatif ke positif. Jadi, memang kami bisa memahami apabila memang kurs mau dibuat lebih kuat dari Rp 13.500 ke Rp 13.400. Saya rasa Rp 13.400 masih bisa masuk range. Lebih kuat dari itu, rasanya kurang baik,” terangnya.
Pria kelahiran Surabaya tersebut melanjutkan, sebetulnya hal yang terpenting bagi ekonomi adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Bukan terlalu lemah atau terlalu kuat. Alasannya, nilai tukar rupiah yang terlalu kuat membuat komoditas ekspor kurang dapat bersaing. Sementara itu, nilai tukar yang terlalu lemah menyulitkan importer.
Pada gilirannya, nilai tukar yang terlalu lemah akan menurunkan ekspor. Sebab, banyak barang impor yang merupakan bahan baku untuk ekspor. Bila harga barang impor naik, inflasi juga akan terkerek. ”Rupiah yang bagus bagaimana? Yang mencerminkan ekuilibrium ekonomi, fundamental ekonomi, support neraca dagang surplus, dan inflasi rendah. Bukan berarti rupiah menguat terus bagus buat ekonomi,” tegasnya.
Dengan berbagai indikator tersebut, BI memproyeksikan nilai tukar rupiah pada akhir tahun ini berada di level Rp 13.420 per USD. Posisi itu memang lebih lemah daripada saat ini di kisaran Rp 13.400 per USD. Sementara itu, pada akhir 2018, bank sentral memproyeksikan rupiah berada di poisisi Rp 13.550 per USD.
Dalam APBNP 2017, asumsi kurs rupiah dipatok Rp 13.400 per USD. Sementara itu, dalam RAPBN 2018, asumsi kurs rupiah diusulkan Rp 13.500 per USD. BI juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan 5,26 persen dengan tingkat inflasi 3,3 persen.
Sumber : jawapos.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar