
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ngebut menyelesaikan aturan pajak bisnis online alias e-commerce. Pengusaha minta ada sosialiasi.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, telah menyiapkan aturan pengenaan pajak bagi pelaku e-commerce di Indonesia. Aturan yang akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ditargetkan terbit pekan depan.
“Minggu depanlah kalau bisa,” ujar Ken di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Ken mengungkapkan, banyak yang diatur dalam PMK tersebut. Namun, yang utama adalah mengenai tata cara siapa yang menjadi pemungut pajak dan siapa yang menjadi pembayar pajak. “Dipungutnya berapa, rate-nya berapa. Itu ada semua,” ungkap dia.
Lalu berapakah tarif pajaknya? Sebelumnya, Ken pernah membisiki jika tarif pajak e-commerce akan berada di bawah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau di bawah 10 persen.
Menurut Ken, mekanisme pajak untuk e-commerce ini nantinya akan dilakukan ke toko online. Nanti toko-toko tersebut akan memajaki barang-barang yang ada sehingga ketika transaksi secara otomatis maka akan ada pajak yang dibayarkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri masih enggan berkomentar lebih lanjut terkait dengan penerbitan aturan pengenaan pajak bagi pelaku e-commerce itu. Dia akan berkomentar ketika aturannya sudah terbit.
Ketua Indonesian E-Commerce Association (IdEA) Aulia Marinto mendukung, rencana pemerintah memberlakukan pajak e-commerce. Namun sebelum itu, mesti ada dialog lebih dulu dengan pelaku usaha supaya tidak terkesan sepihak.
“Bahwa pajak itu harus dikutip, kita dukung. Tapi kalau diberlakukan sepihak itu yang menjadi harus dibahas ulang. Jadi saya harapkan kita dengan pemerintah ada dialog dulu nih,” kata Aulia di Museum Nasional, Jakarta, kemarin.
Bos Blanja.Com ini mengaku, belum ada pembahasan mengenai besaran tarif pajak e-commerce. Kendati begitu, pihaknya tak terlalu mempermasalahkan soal tarif pajak yang akan dikenakan pemerintah. Pengenaan tarifnya dinilai akan adil seperti yang sudah dilakukan pada wajib pajak lainnya.
“Tarif pajak memang belum dibicarakan. Kita tahunya dari media bilangnya enggak sampai 10 persen,” tutupnya.
Media Sosial
Aulia juga meminta, pemerintah tidak hanya mengejar pajak dari pelaku e-commerce saja, tapi juga dari jual-beli di media sosial alias medsos. Pasalnya, jika pemerintah hanya mengejar pajak ke pelaku usaha e-commerce saja, dikhawatirkan market place tersebut justru mati lantaran mereka jualannya pindah ke medsos.
“Pajak harus diberlakukan untuk e-commerce platform, market place dan media lain. Media lain itu media sosial. Kalau sudah pindah, tidak ada yang menjual di e-commerce. Lantas investasi kita yang sudah besar, bagaimana?” katanya.
Menurut dia, jumlah penjual di medsos akan terus bertambah seiring dengan kemajuan internet dan munculnya medsos-medsos baru. “Jangan hari ini cuma berpikir Instagram dan Facebook. Kira-kira kalau muncul lagi tiga tahun lagi yang baru bagaimana,” keluhnya.
Kendati begitu, dia mengakui, akan sulit melacak kewajiban pajak dari pebisnis yang melakukan usahanya di medsos. “Pemiliknya saja enggak dikenal pemerintah, kalau pemilik market place pemerintah kan kenal,” katanya.
Sebelumnya, Ditjen Pajak sendiri telah memasukkan potensi penerimaan pajak darie-commerce ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan, potensi tersebut telah dimasukkan dalam APBNP 2017 lantaran sejumlah pelaku e-commerce telah menyetor tagihan pajaknya.
“Sebagian sudah ada yang bayar. Tahun ini sudah kami proses (masukkan ke APBNP),” ujar Yon.
Sayang, Yon enggan merinci besaran pajak dari e-commerce yang telah didapat institusinya dan yang ditargetkan sampai akhir tahun ini. Ditjen Pajak sendiri mengakui masih sulit memisahkan pajak e-commerce itu. Alasannya, sebagian besar e-commerce yang telah menyetor pajak merupakan perusahaan perdagangan yang menjalankan bisnis secara fisik (offline) dan non fisik (online) secara bersamaan.
Sumber : rmol.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar