Perusahaan Migas Asal Amerika Pulang Kampung

Harga minyak dan perubahan dari cost recovery ke gross split memicu KKKS minggat

JAKARTA. Satu per satu perusahaan minyak dan gas (migas) Amerika Serikat mulai melepaskan aset migas mereka di Indonesia. Yang terbaru adalah Chevron melego 25% sahamnya di Blok South Natuna Sea Block B. Sementara Conoco Philips juga sudah menjual 40% sahamnya di South Natuna Sea Block B.

Selain Chevron dan ConocoPhilips, ExxonMobil keluar dari konsorsium Blok East Natuna. Perusahaan itu juga menjual 41% sahamnya di Lapangan Jambaran Tiung Biru kepada Pertamina EP Cepu.

Erwin Maryoto, Vice President Public and Goverment Affairs ExxonMobil Indonsia pernah menyatakan kepada KONTAN, setelah menyelesaikan kajian teknis dan pemasaran atau technology and market review (TMR) di Blok East Natuna dan mengkaji temuan, ExxonMobil tidak lagi berkeinginan meneruskan pembahasan atau kegiatan Blok East Natuna. “Kami tetap berkomitmen pada operasi ExxonMobil di Indonesia dan terus mencari dan mengkaji peluang baru di Indonesia,” terangnya.

Sementara ConocoPhilips menjual Blok B Laut Natuna Selatan ke Medco karena memang perusahaan itu senantiasa melakukan tinjauan atas portofolionya. Namun bukan berarti akan hengkang, karena ConocoPhilips sudah 47 tahun mengebor di Indonesia.

Lalu ada Hess Corp memang benar-benar tak lagi berminat bisnis di Indonesia sejak tahun 2013. Perusahaan itu menjual keempat bloknya, yakni Blok Ujung Pangkah, Blok Semai V di Papua Barat, Blok South Sesuku Kalimantan Timur, dan Blok Timor Sea 1. Adapun Blok Ujung Pangkah yang memang sudah produksi, kini dikuasai PT Saka Energi Indonesia, anak usaha Perusahaan Gas Negara (PGN).

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial menolak menyebut perusahaan asing tersebut keluar atau hengkang dari proyek-proyek migas Indonesia. Ego yakin, perusahaan-perusahaan migas akan kembali berinvestasi di Indonesia jika harga minyak meningkat. “Enggak keluar, jangan dibilang hengkang, seolah-olah kami tidak friendly. Enggak keluar, itu (Exxon) karena kandungan ga tinggi. Kalau harga minyak enggak ekonomis itu kan wajar, bisa saja suatu waktu balik,” jelas Ego ketika ditemui di Gedung DPR/MPR RI, Selasa (10/10).

Direktur Pembinaan Hulu Migas Tunggal, menambahkan ada alasan-alasan tertentu yang menjadi penyebab keluarnya perusahaan migas dari proyek-proyek migas Indonesia. Seperti ExxonMobil di East Natuna yang memilih keluar dari konsorisium East Natuna yang memilih keluar dari konsorsium East Natuna setelah hasil technology and market research membuat proyek East Natuna tidak ekonomis bagi ExxonMobil.

Sementara di kasus Chevron, Tunggal masih belum mendapatkan surat resmi perusahaan tersebut untuk menjual kepemilikan saham dalam proyek SNSB. Namun Tunggal memastikan pemerintah tidak akan ikut campur dari proses jual beli saham Chevron di South Natuna Sea Block B.

Dia menegaskan, bagi pemerintah saat ini yang penting adalah produksi blok tersebut tidak turun. “Maka dari itu Medco siap mengembangkan, dia berjanji tidak akan turun produksi, yang kami pegang operator,” ujar Tunggal.

Biarpun begitu, Tunggal masih berharap Chevron bisa tetap berinvestasi di Indonesia melalui blok-blok yang di tawarkan pemerintah dalam lelang tahun ini. “Kami harapkan mereka tetap investasi. Makanya kami tawarkan, ayo ikut lelang, jadi bukan membiarkan,” terangnya.

Fahmy Radhi Pengamat Energi dari UGM, menilai, penyebab perusahaan migas Amerika hengkang karena perubahan kontrak bagi hasil ke gross split. Juga berbelitnya perizinan di hulu migas juga menyebabkan investasi tidak kondusif.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Artikel

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar