REVISI UU KUP : Skema Keberatan Perlu Diubah

Skema keberatan yang berlaku dalam UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dinilai memicu kenaikan jumlah piutang pajak seiring dengan lonjakan kasus sengketa pajak.

Berdasarkan bahan paparan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait revisi UU KUP yang mengutip Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terungkap selama kurun 2012-2016 jumlah piutang pajak terkerek signifikan

Kemarin, Komisi XI DPR menggelar RDPU dengan pelaku usaha dan pengamat pajak. RDPU tersebut dilakukan untuk menjadi bahan pembahasan UU KUP.

Terkereknya nilai piutang pajak tersebut disebabkan oleh perubahan skema penundaan pembayaran dalam proses keberatan. Sebelum 2007, skema yang ditetapkan adalah tidak menunda pembayaran, sehingga setelah terbitnya surat ketetapan pajak (SKP) petugas pajak bisa menagih pajak terutang wajib pajak.

Namun pada 2007, pemerintah menganulir ketentuan tersebut. Pasal 25 Ayat 7 KUP menyebutkan dalam hal WP mengajukan keberatan, jangka pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Artinya, fiskus baru bisa menagih pajak setelah ada keputusan soal keberatan tersebut.

Kendati demikian, dalam revisi Undang-Undang KUP pemerintah tampaknya ingin mengembalikan ke konsep sebelum 2007. Pasal 68 draf UU KUP menyebutkan pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Adapun sesuai bahan paparan tersebut, pada 2012 jumlah sengketa pajak tercatat Rp55 triliun, naik jadi Rp80 triliun pada 2013, lalu naik menjadi Rp78 triliun pada 2014, naik menjadi Rp99 triliun pada 2015, dan melonjak menjadi Rp122 triliun pada 2016.

Peningkatan jumlah perkara itu turut mendongkrak piutang pajak di mana pada 2012 piutang pajak senilai Rp71 triliun, pada 2013 senilai Rp77 triliun, pada 2014 senilai Rp68 triliun, pada 2015 senilai Rp91 triliun, dan pada 2016 senilai Rp101 triliun.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan persoalan utama sebenarnya bukan pada masalah mengembalikan skema keberatan ke tahun sebelum 2007 atau tidak. Menurutnya, yang menjadi masalah adalah proses penetapan pajaknya.

Oleh karena itu, seiring dengan proses revisi UU KUP, poin untuk membenahi proses penetapan pajak bisa dibahas supaya lebih memberikan kepastian kepada WP.

STATUS LEMBAGA

Isu yang juga mengemuka dalam RDPU kemarin, adalah perubahan status kelembagaan Ditjen Pajak menjadi sebuah badan atau lembaga yang terpisah dari Kementerian Keuangan.

Hadi Poernomo, mantan Direktur Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, mengatakan komitmen untuk mengubah secara kelembagaan Ditjen Pajak sudah muncul sejak awal 2000-an. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun juga sempat menyampaikan supaya Ditjen Pajak sebagai sebuah badan.

“Sudah sejak zaman Megawati sudah dinaikkan sebagai badan. Presiden Joko Widodo, bahkan langsung ke KUP-nya,” katanya dalam RDPU, Kamis (5/10).

Dia menyebutkan, peningkatan status kelembagaan otoritas pajak tersebut supaya tidak terjadi overlap of interest. Pasalnya, pengeluaran dan penerimaan seharusnya tidak diatur dalam badan yang sama.

Selain itu, dia menganggap, perubahan kelembagaan tersebut akan membantu pemerintah untuk mengejar penerimaan pajak. Otoritas pajak seharusnya menjadi lembaga yang tidak dipimpin oleh seorang eselon I, tetapi lebih setara badan atau lembaga yang lebih independen.

Yustinus mengatakan perlu dibangun mitigasi supaya tidak ada penyalahgunaan kewenangan dari otoritas kelembagaan tersebut.

Belum lagi perubahan itu harus mempertimbangkan soal penganggaran dan sumber daya manusia (SDM) apakah setelah menjadi badan akan tunduk pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Oleh karena itu, sebenarnya ada jalan tengah, Ditjen Pajak bisa menjadi lembaga semi otonom yang merupakan pengejawantahan UU. Transisi tersebut apabila diatur dalam RUU KUP akan lebih baik.

Darussalam, Managing Partner DDTC, menambahkan sebenarnya sudah saatnya Ditjen Pajak keluar dari Kemenkeu. Namun, bukan dalam bentuk fully independent melainkan sebagai lembaga semi otonom.

Usulannya, skema keorganisasian tersebut bisa merujuk kelembagaan di Singapura, Hong Kong, dan Malaysia. Di Hong Kong ada sekitar 5 komisioner, Singapura 9 komisioner, dan Malaysia 7 komisioner.

Adapun apabila merujuk draf revisi UU KUP, status Ditjen Pajak tak lagi disebut sebagai sebuah direktorat yang dikepalai seorang direktur jenderal tetapi lembaga dan diketuai oleh seorang kepala lembaga.

Di pihak lain, para pelaku usaha meminta revisi UU KUP diarahkan untuk mewujudkan keadilan perpajakan. Wajib pajak (WP) yang tak patuh harus dikejar, sedangkan bagi wajib pajak yang sudah patuh seharusnya tak lagi dikejar-kejar oleh petugas pajak.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, berkaca kepada implementasi pengampunan pajak atau tax amnesty, keikutsertaan WP yang masih di bawah 1 juta mengindikasikan masih banyak WP belum patuh.

Pasalnya, berdasarkan data Ditjen Pajak, dengan jumlah WP yang tercatat memiliki NPWP sebanyak 32 juta, partisipasi WP dalam pengampunan pajak dianggap masih rendah karena hanya 973.426 WP. Sisa WP yang belum mengikuti implementasi pengampunan pajak seharusnya menjadi prioritas pemerintah.

“Paling penting sebetulnya yang tidak membayar pajak masih terlalu banyak, jangan mengejar yang sudah pada bayar kejarlah yang belum bayar,” kata Suryadi dalam RDPU di DPR, Kamis (5/10).

Suryadi menyebutkan dua aspek penting untuk mewujudkan keadilan perpajakan. Pertama, pembenahan sistem teknologi dan informasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak. Teknologi, menurutnya, memegang peran cukup sentral untuk melakukan pemerataan beban perpajakan.

Dia mencontohkan, pemerintah belum optimal menjangkau pajak dari orang–orang yang melakukan aktivitas belanja. Meskipun sudah ada keterbukaan informasi perbankan tetapi kebijakan itu belum didukung oleh sistem teknologi yang kuat.

“IT kita sudah ketinggalan jauh, kalau sistem itu kuat setiap belanja kan ada NPWP, maka sudah bisa langsung masuk pajaknya,” ujarnya.

Kedua adalah persoalan sumber daya manusia (SDM). Persoalan yang acapkali muncul saat menghadapi petugas pajak adalah perbedaan tafsir terkait peraturan pajak di antara para fiskus. Perbedaan cara pandang seharusnya tidak terjadi, karena akan menimbulkan dispute di kalangan wajib pajak yang implikasinya pun bisa memicu terjadinya sengketa pajak.

Raden Pardede, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menambahkan, terkait pembahasan revisi UU KUP, ada beberapa persoalan yang perlu dibenahi misalnya administrasi perpajakan yang lebih memudahkan wajib pajak.

Sistem perpajakan harus dibuat lebih mudah supaya meningkatkan kepatuhan WP. Kemudahan administrasi perpajakan juga harus didukung dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di tubuh otoritas pajak.

Selain itu, Raden juga meminta supaya mekanisme sanksi kepada petugas pajak yang bertindak sewenang-wenang supaya diatur secara tegas. Selama ini, menurutnya, aturan soal sanksi tersebut masih cukup samar, sehingga belum memberikan keadilan bagi WP dan fiskus.

Sumber : bisnis.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar