Tidak Ada Lagi Lokasi untuk Bersembunyi

Ruang bermain bagi para Wajib Pajak (WP) nakal semakin tertutup. Bakalan kian sulit mencari tempat untuk menyembunyikan harta demi menghindar kewajiban perpajakan. Aparat pajak bakal memiliki mata-mata di mana mana.

Bahkan, yurisdiksi yang selama ini menjadi tax heaven tidak kuasa melawan arus. Kata Pengamat Perpajakan Danny Bawono Kristiaji, tak kurang dari 49 yurisdiksi yang menyandang status sebagai tax heaven. Sebagian di antaranya berada di kawasan eropa. Ambil contoh Swiss, Luxemburg, Channel Island, dan Dublin.

Kini, sebagian tempat favorit bagi orang-orang kaya di seluruh dunia itu berkomitmen bergabung dalam pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Jadi, tidak berlebihan jika lantas Bawono menyebut tidak ada lagi tempat bagi WP nakal untuk bersembunyi.

Walhasil, lari dari kewajiban bukanlah pilihan yang bijak. Ini sejatinya berlaku buat golongan WP yang mana saja. Termasuk aset yang disimpan mana saja. Sebab, seka rang DJP tidak hanya memiliki kewenangan meminta data rekening bank, tapi juga termasuk asuransi dan lembaga jasa keuangan lainnya. “Bagi WP yang mencoba tidak patuh akan berpikir, pada akhirnya akan ketahuan juga,” kata Pengamat Perpajakan Wahyu Nuryanto.

Nasib harta yang disimpan di luar negeri, juga tidak jauh berbeda. Jika tidak terekam melalui pertukaran data yang bersifat otomatis, aparat pajak bisa menggunakan perangkap dengan meminta data ke otoritas pajak di negara lain.

Jika tidak diendus Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak , sewaktu-waktu otoritas di luar negeri bisa memberikan informasi. Ini bisa terjadi lewat skema informasi sukarela yang dapat diberikan kapan saja oleh sejawat Ditjen Pajak di negara lain.

Di luar itu, pemerintah Indonesia juga aktif menjalin kerja sama perpajakan bilateral (tax treaty) dengan beberapa negara. Dalam catatan Pengamat Perpajakan sejauh ini tidak kurang dari 65 negara sudah mengikat  perjanjian pajak dengan Indonesia.

Tahun lalu, Indonesia menjalin tax treaty dengan Singapura, Hong Kong, dan Swiss. Ketiga yurisdiksi ini menjadi pelabuhan modal favorit bagi banyak orang kaya dunia, termasuk Indonesia. “Monako on going, akan selesai secepatnya. Tinggal negara-negara yang kecil kita jajaki pelan-pelan,” tandas John Hutagaol, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kemenkeu.

Oh ya, perjanjian pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan antara Indonesia dan Singapura rupanya ikut menarik perhatian Moody’s Investors Service. Dikutip dari Bloomberg, Anushka Shah, Analis Surat Utang Moodys berharap perjanjian tersebut akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak Indonesia.

Kerjasama saling menguntungkan antar otoritas pajak, itu lantaran ulah WP nakal menjadi persoalan yang dihadapi banyak negara. Upaya bersama ini bisa mempersempit ruang gerak para penghindar pajak.

Dus, John yakin, data yang mereka miliki soal WNI yang punya aset keuangan di luar negeri bakal kian banyak dan lengkap. Maklum, ada lima informasi perpajakan yang akan dipertukarkan.

Informasinya rinci,mulai dari identitas pemegang rekening keuangan. Daftar informasi ini dari nama, alamat, negara domisili untuk kepentingan pajak tempat dan tanggal lahir bagi orang pribadi, dan identitas pengendali bagi entitas. Lalu, informasi soal nomor rekening keuangan, hingga saldo akhir tahun dari rekening tersebut.

Bukan cuma itu, penghasilan yang timbul dari rekening keuangan tersebut juga akan di pertukarkan. Misalnya, bunga simpanan dan dividen. Termasuk, informasi soal lembaga keuangan tempat WNI menyimpan dana di luar negeri. “Dengan pertukaran ini kita bakal dapat informasi dari counter part kita. Seperti dari Singapura. Ada sekitar 70% dari total repatriasi berasal dari negara. tetangga ini,” kata John.

Sukses di negara lain

Paling tidak, pengalaman dari banyak negara menunjukkan Automatic Exchange of Information (AEol) dan Exchange of Information On Request (EOIR) memiliki taji yang tajam. Bahkan, sebelum negara bersangkutan menerapkan pertukaran data otomatis untuk kepentingan perpajakan.

Angel Gurria, Sekretaris Jenderal OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) dalam laporan nya kepada para pemimpin G20, Juli 2017 mengungkap data yang cukup menggembirakan.  Sebelum dimulainya pertukaran data otomatis pada 2017, banyak WP yang secara sukarela mengungkapkan hartanya yang selama ini tersembunyi.

Catatan OECD menyingkap, sekitar 500.000 orang telah mengungkapkan aset yang di simpan di banyak negara. Plus, tambahan penerimaan pajak sebesar EUR 85 miliar berhasil dihimpun otoritas terkait.

Efektivitas pertukaran data berdasar permintaan (EOIR) juga cukup baik. Meski tidak ada data yang lebih lengkap. mengingat banyak penyelidikan kasus perpajakan yang tengah berjalan. Tapi paling tidak beberapa contoh seperti Australia yang berhasil mengumpulkan penerimaan pajak sebesar EUR 326 juta bisa menunjukkan efektivitas skema tersebut.

Di Indonesia, mestinya kemampuan aparat pajak pasca AEol juga bisa diaplikasikan untuk WP peserta program pengampunan pajak yang sebelummnya sudah berkomitmen untuk membawa pulang hartanya ke Indonesia. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Robert Pakpahan menyebut, masih ada sekitar Rp 9 triliun harta yang belum direpatriasi

Berdasar data yang dihimpun Ditjen Pajak, total komitmen repatriasi mencapai Rp 147 triliun. Namun, yang terealisasi hingga awal Januari 2018 cuma Rp 138 triliun. Data siapa saja yang belum menunaikan kewajiban tersebut sudah ada di tangan. Robert pun sudah memastikan akan segera menindaklanjuti temuan tersebut.

Masih ada kesempatan

Meski begitu, masih ada celah bagi WP yang belum melakukan repatriasi hartanya hingga saat ini. Termasuk juga untuk WP yang tidak mengikuti program pengampunan pajak. Celah yang disebut Wahyu sebagai second window itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017. Lewat beleid ini, WP masih diberi kesempatan kedua untuk bertobat.

Memang, bebannya tidak seringan jika mengikuti pengampunan pajak dengan benar. Tapi juga tidak seberat jika harta tersebut lebih dulu ditemukan oleh aparat pajak.

Shinta Widjaja Kamdani menyebut, sejak awal pengusaha mendukung program pengampunan pajak yang digelar pemerintah. Kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional, itu pihaknya sudah meminta kepada pengusaha yang belum merepatriasi harta nya untuk segera menunaikan komitmennya tersebut.

Lagipula, dana repatriasi tersebut bisa dimanfaatkan untuk berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Dengan begitu, pada akhirnya pengusaha juga yang akan diuntungkan.

Soal beberapa rekannya sesama pengusaha yang belum merepatriasi aset, ia memperkirakan didorong oleh ketidakyakinan terhadap kondisi nasional.

Terutama soal kondisi politik yang bisa saja memanas menjelang pilkada serentak tahun ini. “Tetapi bagi kami itu bukan alasan (untuk tidak melakukan repatriasi),” tandas Shinta.

Agus Susanto Lihin, Tax Partner Konsultama yakin, persoalan yang dihadapi WP yang belum melakukan repatriasi bukan soal kepercayaan terhadap pemerintah. Menurutnya, komitmen pemerintah sangat jelas. Ada jaminan hukunya yang jelas tercermin dalam ketentuan UU, mulai dari ketentuan produk investasi, batasan jangka waktu pengalihan serta ketentuan proses adminitrasi perpajakannya saat proses pengalihan aset tersebut.

Cuma, memulangkan harta ke dalam negeri tidaklah selalu mudah. Harta yang sudah dideklarasikan bakal direpatriasi, tidak semuanya berbentuk aset likuid. Namun, ada juga yang berupa properti.

Terlepas dari apapun persoalan yang dihadapi wajib pajak, Bawono memberikan saran agar WP segera melaporkan harta yang sebelumnya tidak dilaporkan. Mumpung masih ada kesempatan sebelum diendus duluan oleh aparat pajak. “ Ini, kan sebenarnya uluran tangan pemerintah sebelum keterbukaan informasi itu dimulai. Menurut saya secepat mungkin harus dimanfaatkan,” tandas Bawono.

Namun, ia mengingatkan pemerintah mewaspadai penurunan elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi normal, saat kapasitas ekonomi menguat berarti pertumbuhan pajaknya juga naik. “Ternyata kita pertumbuhan pajaknya di bawah 1. Jadi ada masalah di situ,” imbuhnya.

Langkah Amerika Serikat memangkas tarif PPh badan dari 35% menjadi 21% juga mesti diwaspadai. Upaya pemerintah Negeri Paman Sam memanggil pulang pemodal bisa berdampak negatif kepada negara, termasuk Indonesia.

Kompetisi insentif pajak antar negara yang kian intens bisa memengaruhi pola investasi global. “Akhirnya mau enggak mau bisa menggerus basis pajak negara-negara selain US,” kata Bawono.

Jadi yang sudah ada di dalam perlu dijaga, ya!

Sumber : Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar