RI Masih Andalkan Impor, Rupiah Sulit Menguat

Sejumlah kalangan mengemukakan nilai tukar rupiah cenderung sulit menguat secara fundamental dan jangka panjang, apabila Indonesia masih terus mengandalkan impor, terutama impor minyak, pangan, dan barang konsumen.

Oleh karena itu, penguatan kurs rupiah sejak awal tahun ini dipandang belum mencerminkan perbaikan fundamental ekonomi Tanah Air yang signifikan.

Sebab, apresiasi rupiah itu lebih banyak didorong oleh banjir hot money, dan kenaikan cadangan devisa yang berasal dari global bond.

Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Yogyakarta, Y Sri Susilo, mengatakan bahwa penguatan rupiah awal tahun ini lebih banyak karena terseret oleh sentimen melemahnya indeks dollar atau kuatnya faktor eksternal.

Namun, sangat minim faktor fundamental, seperti perbaikan defisit transaksi berjalan, kenaikan surplus neraca perdagangan yang signifikan, dan kenaikan cadangan devisa yang berkualitas atau bukan dari global bond.

“Kebergantungan kita yang sangat besar pada impor, seperti minyak dan pangan, akan menyedot devisa dollar dalam jumlah besar pula. Kita memang surplus perdagangan, tapi nilainya sangat kecil yang justru menggambarkan kelesuan ekonomi, bukan prestasi ekspor kita,” kata dia, saat dihubungi, Minggu (28/1).

Menurut Susilo, meskipun neraca perdagangan surplus, namun defisit transaksi berjalan dari dulu terus berada di kisaran 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Ini menunjukkan bahwa kinerja utang dan impor lebih baik dari kinerja ekspor.

“Pemerintah mesti terus fokus pada perbaikan birokrasi sehingga investasi berorientasi ekspor bisa bersaing dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam,” tutur dia.

Sebelumnya dikabarkan, strategi Amerika Serikat (AS) melemahkan kurs dollar AS terhadap sejumlah mata uang utama dunia, seperti euro, poundsterling, dan yen bertujuan untuk meningkatan perdagangan internasional, terutama dari ekspor, negara Adidaya tersebut.

Namun, pelemahan dollar AS itu dinilai tidak akan menguatkan rupiah secara fundamental dan dalam jangka panjang. Sejumlah faktor eksternal, misalnya, kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) tahun ini, berpotensi menekan nilai tukar mata uang RI itu.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan apabila kenaikan rupiah beberapa hari lalu lebih banyak didukung oleh faktor fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, seharusnya mata uang RI itu terus menguat.

“Tapi, nyatanya rupiah pada akhir pekan ini melemah setelah menguat terkena sentiman perang mata uang antara dollar AS dan euro, poundsterling, dan yen,” kata dia.

Indef dalam rilis akhir pekan lalu juga mengingatkan kenaikan harga minyak di tengah kebergantungan impor minyak yang besar, berkonsekuensi pada permintaan dollar yang meningkat.

Di sisi lain, kemampuan peningkatan ekspor masih sangat terbatas, sehingga berpotensi menekan keseimbangan pasar valas yang berisiko mengganggu stabilitas serta nilai rupiah. Kenaikan harga minyak akan meningkatkan nilai impor bahan bakar minyak (BBM).

Ini tentunya juga akan mengganggu neraca perdagangan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah antisipatif dari kebijakan moneter yang pruden, termasuk koordinasi yang sinergis antara Bank Indonesia dan Pertamina saat akan melakukan impor minyak.

Strategi Baru

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Halim Alamsyah, mengungkapkan struktur perekonomian nasional menjerat Indonesia sehingga tidak mungkin tumbuh 6 persen atau lebih, padahal potensinya besar.

Setiap kali pertumbuhan ekonomi mengarah ke 6 persen atau lebih, secara otomatis Indonesia menciptakan kerentanannya sendiri. Kerentanan yang dimaksud adalah melebarnya defisit transaksi berjalan hingga lebih kurang 3,5 persen terhadap PDB.

Konsekuensinya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tertekan, inflasi merangkak naik, dan suku bunga terdorong ke atas. Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi mau tak mau harus turun, kemudian memasuki masa stabilisasi, lantas menuju pemulihan pertumbuhan ekonomi.

“Demikian seterusnya. Saya rasa siklus ini tidak akan putus tanpa strategi baru,” ujar Halim, belum lama ini. Defisit transaksi berjalan merupakan persoalan struktural di Indonesia.

Penyebabnya antara lain impor migas besar dan ekspor yang masih berorientasi pada komoditas sumber daya alam. Neraca jasa juga menjadi titik lemah karena konsisten defisit.

Sumber : Koran-jakarta.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar