
Ekonomi Indonesia 2017 tercatat tumbuh sebesar 5,07 persen atau di bawah target pemerintah yang sebesar 5,2 persen. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti lima indikator dibalik perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut.
Pertama kinerja ekspor mengalami stagnasi karena bertumpu pada komoditas. Dependensi pada ekspor bahan mentah sering kali bersinggungan dengan isu lingkungan, yang berujung pada pengenaan hambatan-hambatan ekspor baik tarif maupun non-tarif. Misalnya kasus CPO yang mengalami hambatan tarif dari Uni Eropa.
Disisi lain pangsa pasar ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia menurun, di tengah peningkatan performa negara lain. Vietnam menempati posisi 21 sebagai negara pengekspor terbesar di dunia, Singapura, Thailand dan Malaysia masing-masing berada di urutan 14, 22 dan 26. Sementara Indonesia hanya bercokol di posisi 30 dunia atau posisi 5 di ASEAN.
“Boleh saja ekspor barang mentah terus menerus disatu sisi devisa untuk negara, di sisi lain, bergantungnya ekspor komoditas menyebabkan sulit memanfaatkan peluang dari permintaan global,” kata Peneliti Ekonomi Indef Ahmad Heri Firdaus dalam sebuah jumpa pers di Warung Daun Cikini, Jakarta, Rabu 7 Februari 2018.
Indikator kedua adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor yang kelewat tinggi. Menurut Heri dalam berbagai situasi, pemerintah sering kali menempuh strategi impor untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti beras, bawang, bahkan garam. Kondisi yang demikian menggambarkan buruknya tata kelola ekonomi domestik dan pada gilirannya berdampak pada kebijakan jangka pendek. Tercatat pada 2017, pertumbuhan impor barang mencapai 15,66 persen sehingga mengikis tingginya pertumbuhan ekspor yang mencapai 16,22 persen.
“Berbagai keperluan untuk menunjang pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang pemerintah juga lebih kental aroma impor ketimbang memprioritaskan industri dalam negeri,” ungkapnya.
Ketiga, sektor industri sebagai motor penggerak ekonomi justru berjalan susah payah karena insentif untuk industri tidak cukup. Permasalahannya adalah tingkat pertumbuhannya selalu berada di bawah angka pertumbuhan ekonomi.
Hal ini membuat porsi industri manufaktur terhadap PDB semakin kecil. Pada 2017 kontribusi industri pengolahan non- migas turun menjadi 17.88 persen dari 18.2 persen. Sementara industri manufaktur secara keseluruhan baik migas maupun non-migas juga menurun dari 20.51 persen di 2016 menjadi 20.16 persen di 2017.
“Jika semakin kecil porsi industri ini dalam perekonomian, maka kue yang diperebutkan oleh tenaga kerja akan semakin kecil sehingga tingkat kesejahteraan tenaga kerja di industri semakin berkurang,” tambahnya.
Faktor keempat berasal dari optimisme bisnis dan konsumen yang lesu menghadapi tahun politik. Heri mengungkapkan Indeks Tendensi Bisnis (ITB) menurun di Triwulan IV-2017 dari 112.39 menjadi 111.02 yang menggambarkan bahwa optimisme pelaku bisnis kian menurun.
Komponen yang mengalami penurunan di antaranya penggunaan kapasitas usaha dan rata-rata jumlah kerja. Perkiraan ITB pada Triwulan I-2018 akan mengalami penurunan hingga 108.6.
“Tentu perkiraan ini akan dapat jauh lebih rendah karena pebisnis mulai, memilih untuk menunggu (wait and see) karena ketidakpastian yang ditimbulkan tahun politik,” ungkap dia.
Kelima, iklim investasi belum mendorong realisasi investasi lantaran pertumbuhan ekonomi nasional selama ini masih mengandalkan pertumbuhan melalui konsumsi rumah tangga. Padahal, komponen ini sangat rentan terhadap gejolak daya beli yang sering kali diintervensi pemerintah.
Sumber : metrotvnews.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar