
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal daya beli masyarakat Indonesia telah mentok alias mencapai titik maksimal untuk melakukan konsumsi karena tertekan pandemi virus corona atau covid-19. Hal ini tercermin dari realisasi penerimaan pajak yang berhasil dihimpun negara sampai dengan Juli kemarin.
“Ini informasi kepada Bapak Ibu semuanya, penerimaan pajak di Juli ini mulai stuck lagi, tidak gini (memperagakan kurva naik) tapi sudah gini lagi (kurva lurus). Ini menunjukkan memang daya beli di masyarakat itu sudah mentok lagi,” ujar Jokowi, Senin (24/8).
Sementara itu, data Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi penerimaan perpajakan baru mencapai Rp711 triliun atau 50,62 persen dari target Rp1.404,5 triliun per Juli 2020. Jika dibandingkan dengan Juli 2019 yang sudah berhasil mencapai Rp810,7 triliun, penerimaan tersebut minus 12,29 persen.
Sementara penerimaan pajak baru mencapai Rp608,1 triliun per bulan lalu. Realisasi terkontraksi 14,7 persen dari Rp705,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terkontraksi 12 persen. Begitu juga dengan Pajak Penghasilan (PPh).
“Kami memang merasakan untuk penerimaan pajak tekanan luar biasa keras, terutama untuk PPh 21 sesudah Juli ini terlihat banyak yang alami tekanan begitu juga pada PPN,” jelas Sri Mulyani.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan sinyal daya beli mentok dari Jokowi sejatinya menjadi penanda ekonomi dalam negeri akan mengalami resesi pada kuartal III tahun ini. Resesi adalah kondisi ketika suatu negara mengalami pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Saat ini, Indonesia sudah satu kali menelan pertumbuhan ekonomi negatif, yaitu minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Yusuf bilang kini Jokowi seolah ingin memberi sinyal bahwa resesi akan dialami Indonesia yang diberikan melalui pernyataan daya beli mentok.
Apalagi, data penerimaan pajak dari Sri Mulyani turut menegaskan dalamnya kontraksi yang terjadi di pos pendapatan negara. Hal ini menandakan minimnya konsumsi masyarakat maupun dunia usaha.
“Tanda-tandanya (resesi) sudah kelihatan. Ada peluang pertumbuhannya (kuartal III) tidak terlalu jauh dari kuartal II yang minus 5,32 persen,” ungkap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Senin (24/8).
Ia menjelaskan sinyal daya beli masyarakat mentok ini sangat mungkin berujung resesi karena Indonesia merupakan negara dengan struktur ekonomi yang bergantung pada konsumsi rumah tangga. Untuk memacu konsumsi, tentu masyarakat harus memiliki tingkat daya beli yang baik.
Namun nyatanya, tekanan ekonomi di tengah pandemi virus corona atau covid-19 membuat banyak masyarakat yang berkurang pendapatannya, khususnya para pelaku usaha kecil di bidang kerja informal seperti pedagang kaki lima hingga pekerjaan harian lainnya.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang kehilangan pekerjaan, entah karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun dirumahkan. Data terakhir Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 2,1 juta pekerja yang kehilangan pekerjaan selama pandemi corona.
Di sisi lain, sambungnya, tingkat daya beli masyarakat tidak cukup terjaga akibat pemberian stimulus dari pemerintah. Realisasi anggaran penanganan dampak pandemi covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari pemerintah justru berjalan lamban.
Tercatat, realisasi baru mencapai Rp174,79 triliun per 19 Agustus 2020. Jumlah tersebut setara 25,1 persen dari total pagu anggaran Rp695,2 triliun.
“Idealnya, kalau target September 100 persen, setidaknya di Agustus harus 30-50 persen, tapi ini masih di bawah. Beragam upaya sudah dilakukan, termasuk bentuk Satgas, tapi nyatanya belum ada dampak,” katanya.
Sementara, pertumbuhan dari indikator lain, seperti ekspor dan investasi juga minim untuk perekonomian nasional. Dari ekspor, neraca perdagangan Indonesia memang mencatatkan surplus US$3,26 miliar pada Juli 2020.
Hal ini menandakan nilai ekspor jauh lebih tinggi dari impor. Namun, yang terjadi sebenarnya bukan semata-mata ada peluang ekspor yang tinggi di tengah pandemi.
Tapi, kondisi tersebut terjadi karena impor yang turun tajam akibat rendahnya permintaan di dalam negeri.
Tercatat, ekspor Indonesia US$90,12 miliar pada Januari-Juli 2020 atau turun 6,21 persen dari US$96 miliar pada Januari-Juli 2019. Sementara realisasi impor US$81,37 miliar atau terkontraksi 17,17 persen dari US$98 miliar pada periode yang sama.
Sedangkan investasi tercatat sekitar Rp402,6 triliun pada semester I 2020. Jumlahnya mencapai 49,3 persen dari target investasi yang direvisi menjadi Rp817,2 triliun pada tahun ini.
“Jadi meski ada peluang membaik di kuartal III, tapi peluangnya marginal, sedikit tipis, kemungkinan tumbuh negatif meski tak sedalam sebelumnya,” katanya.
Yusuf pun memproyeksi pertumbuhan ekonomi Tanah Air akan minus 2 persen sampai minus 4 persen pada kuartal III 2020. Dari kondisi ini, Yusuf mengatakan pemerintah mau tidak mau memang harus bekerja lebih keras untuk bisa mempercepat realisasi anggaran penangaan dampak pandemi covid-19 dan PEN.
Tujuannya, agar daya beli masyarakat tidak jatuh lebih dalam. Selain itu, harus mencari cara agar ekspor dan investasi tetap bergairah di tengah tekanan ekonomi yang melanda semua negara di dunia.
Senada, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad juga melihat tanda-tanda resesi semakin jelas. Proyeksinya, ekonomi nasional terkontraksi minus 1,3 persen sampai minus 1,7 persen pada Juli-September 2020.
“Karena sudah lebih dari enam bulan pandemi tidak selesai dan realisasi PEN rendah, ya otomatis masuk resesi,” ucap Tauhid.
Tauhid bilang bila ingin ekonomi Indonesia setidaknya positif meski di nol persen saja, maka realisasi anggaran penanganan dampak covid-19 dan PEN setidaknya harus 50 persen sampai akhir September 2020. Sayangnya, meski Jokowi sudah membentuk Satgas Penanganan Covid-19 dan PEN dalam sebulan terakhir, namun realisasi anggaran masih sekitar 25 persen pada Agustus 2020.
“Tadinya skenarionya kalau (realisasi PEN) di atas 50 persen saja, itu bisa positif di kuartal III, tapi karena rendah, apalagi pandeminya malah memburuk, siapa yang berani untuk aktivitas ekonomi?” katanya.
Lebih lanjut, ia bilang sinyal utama resesi Indonesia pada kuartal III 2020 juga bisa semakin divalidasi dengan pengumuman tingkat inflasi Agustus pada 1 September nanti. Bila inflasi rendah atau bahkan deflasi lagi, maka resesi semakin tidak terhindari.
“Bahkan kalau deflasi lagi, sudah jelas itu daya beli tidak bergerak. Inflasi rendah di bawah rata-rata, itu tanda-tanda masuk periode reses, jadi indikator sebelum resesi adalah inflasi,” jelasnya.
Bahkan, Tauhid khawatir, kontraksi ekonomi juga akan ditelan Indonesia sampai kuartal IV 2020. “Dengan situasi pandemi yang masih tinggi, anggaran yang rendah, ya kuartal IV agak susah gerak juga untuk positif, meski ada perbaikan, tapi tidak akan seperti kuartal IV 2019,” pungkasnya.
Sumber: CNNindonesia
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan