SHARE
Adanya rencana pembentukan Dewan Moneter membuat Ekonom Senior Faisal Basri geram. Menurut dia masalah moneter di Indonesia sebaiknya tidak dicampuri urusan politis.
Faisal mencatat pemerintah tidak bisa dengan baik menyelamatkan APBN, terutama dari setoran pajak. Penerimaan negara dari sektor pajak yang lesu sudah terjadi sebelum adanya pandemi covid-19.
Penerimaan pajak yang loyo itu yang akhirnya membuat utang Indonesia semakin membengkak.
Faisal merinci rasio pajak di semester I tahun 2020 menurun lagi menjadi 8,2% dari 9,8% di periode sama tahun lalu.|
“Tax ratio turun terus. Tambah utang menjadi-jadi. Akibatnya tak mampu membayar utang, tapi minta LPS [Lembaga Penjamin Simpanan] dan BI [Bank Indonesia] menanggung beban. Dana yang selama ini tidur Rp 120 triliun dari LPS diminta untuk menyuntik bank-bank yang sakit,” ujar Faisal dalam webinar INDEF, Kamis (3/9/2020).
Menurut Faisal salah satu masalah perpajakan di Indonesia adalah gagalnya pemerintah menarik pajak dari sektor ekonomi yang terus tumbuh.
Salah satu contohnya adalah dari sektor pertambangan nikel, karena perusahaan tambang terlalu diberi banyak fasilitas seperti tax holiday hingga pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Dari sisi kementerian teknis, Faisal berpendapat masalah muncul karena tidak ada ada inovasi yang progresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun ia nilai tidak berdaya dalam hal inovasi.
Menurut Faisal, untuk menekan anggaran, seharusnya pemerintah bisa menahan pembangunan infrastruktur dan bisa fokus mengalokasikannya ke sektor kesehatan.
Faisal menyayangkan, anggaran infrastruktur di dalam RAPBN 2020 lebih besar dibandingkan anggaran kesehatan. Untuk diketahui, pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur tahun depan Rp 414 triliun, lebih tinggi dari anggaran kesehatan yang hanya mencapai Rp 169,7 triliun.
“Alokasi infrastruktur tertinggi sepanjang sejarah di tengah Covid-19. Sementara kesehatannya turun. Jadi lebih penting menyelamatkan proyek infrastruktur dibandingkan menyelamatkan nyawa manusia dengan vaksin gratis,” ujarnya.
Faisal pun menyayangkan jika DPR mengusulkan untuk merevisi UU Bank Indonesia. Padahal, stabilisasi moneter telah baik dijalankan oleh BI sebagai otoritas yang independen.
“Ibaratnya yang gatal tangan, yang diamputasi kaki kita. Apa salahnya moneter ini. Semua kita lihat gak ada yang salah dari moneter. Tax ratio kecil, turun terus, gagal menarik pajak dari ekonomi yang terus tumbuh. […] ini moneter yang diobok-obok solusinya,” jelas Faisal.
Seperti diketahui, berdasarkan draf revisi UU BI, DPR mengusulkan untuk membentuk Dewan Moneter. Dewan Moneter akan diisi oleh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yakni Menteri Keuangan, kemudian ada satu dari Menteri bidang Perekonomian, Gubernur BI, Deputi Senior BI, serta Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
DPR juga mengusulkan agar pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasehat kepada Dewan Moneter. Sementara, Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Faisal justru menyayangkan jika revisi UU BI tetap dilakukan oleh DPR, meski dengan alasan menjaga sektor perbankan dan keuangan sekalipun. Faisal menyarankan agar pemerintah harus fokus mengatasi pandemi corona dengan cepat.
Sumber: cnbcindonesia
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan