
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Freeport Indonesia (PTFI) atas penarikan pajak air permukaan oleh Pemprov Papua.
Dalam putusan tersebut, MA menyatakan Freeport tak harus membayar pajak air permukaan ke Pemprov Papua berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2011.
Putusan itu sekaligus membatalkan vonis Pengadilan Pajak Nomor PUT-009301.06/2018/PP/HT.I Tahun 2019, tanggal 18 Februari 2019 yang sebelumnya memenangkan Pemprov Papua.
“Mengadili kembali. Mengabulkan banding dari pemohon banding PT Freeport Indonesia,” bunyi putusan yang diketok pada 2 April 2020. Adapun majelis hakim PK terdiri dari Hakim Agung Supandi, Hary Djatmiko, dan Yodi Martono Wahyunadi.

Kasus ini bermula saat Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) Papua menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah atas Pajak Air Permukaan (SKPD PAP) Mei 2017 yang harus dibayar Freeport sejumlah Rp 36.961.920.000.
Freeport yang menolak kemudian mengajukan keberatan ke Gubernur Papua, Lukas Enembe. Namun Lukas menerbitkan Keputusan Nomor 188.4/397/Tahun 2017 tanggal 15 Desember 2017 yang menolak keberatan Freeport.
Alhasil, Freeport mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Dalam putusan pada 18 Februari 2019, Pengadilan Pajak menyatakan banding yang diajukan Freeport tidak dapat diterima.
Kemudian Freeport mengajukan PK ke MA. Diketahui berdasarkan Pasal 77 UU Pengadilan Pajak, vonis di tingkat pertama merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pihak yang keberatan, langsung mengajukan upaya hukum PK ke MA sebagaimana Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang berbunyi:
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Pada akhirnya, majelis hakim PK MA menilai putusan Pengadilan Pajak yang memenangkan Pemprov Papua terdapat kekeliruan dalam menilai fakta dan menerapkan hukum.
MA menilai Pemprov Papua tak bisa menarik pajak air permukaan lantaran Freeport sudah terikat Kontrak Karya tahun 1988. Kontrak karya tersebut telah disetujui Pemerintah RI usai mendapat rekomendasi DPR dan kementerian terkait. MA menyatakan, Kontrak Karya itu mengikat dari pemerintah pusat hingga daerah.
“Oleh karena itu sesuai pula dengan surat dari Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 Desember 1988, bersifat khusus yaitu Lex specialis derograt lex generalis dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya (vide Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata),” bunyi pertimbangan putusan.
MA menyatakan dalam Pasal 13 Kontrak Karya tersebut, tertulis bahwa Freeport tidak wajib membayar pajak apa pun selain yang termaktub di Kontrak Karya.
“Pasal 13 Kontrak Karya telah mengatur secara tegas bahwa ‘Perusahaan tidak wajib membayar lain-lain pajak, bea-bea, pungutan-pungutan, sumbangansumbangan, pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya sekarang maupun di kemudian hari yang dipungut atau dikenakan atau disetujui oleh Pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam Pasal ini dan dalam ketentuan manapun dalam Persetujuan ini’,” isi pertimbangan putusan.

Dengan demikian, langkah Pemprov Papua yang menarik pajak air permukaan ke Freeport tidak sesuai Pasal 32A dan Pasal 33 A ayat (4) UU Pajak Penghasilan yang berbunyi:
Pasal 32A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Pasal 33A ayat (4)
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang‐undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.
“Bahwa dengan demikian, alasan-alasan permohonan pemohon Peninjauan Kembali (Freeport -red) cukup berdasar dan dapat dibenarkan karena dalil-dalil yang diajukan bersifat pendapat yang menentukan sehingga patut untuk dikabulkan,” tulis pertimbangan MA.

Sebelumnya pada 2018, MA juga pernah mengabulkan PK Freeport atas penarikan pajak air permukaan untuk Februari dan Maret 2014 yang dikeluarkan Gubernur Papua pada 8 Oktober 2014. MA saat itu membatalkan putusan Pengadilan Pajak pada Januari 2017 yang memenangkan Pemprov Papua.
Saat itu, Pemprov Papua menarik pajak air permukaan sebesar Rp 333.849.600.000 untuk Februari 2014. Sementara untuk Maret 2014, Pemprov Papua menarik pajak air senilai Rp 369.619.200.000.
Lukas bahkan sempat mendesak Freeport agar segera membayar pajak air permukaan usai Pengadilan Pajak menolak gugatan Freeport. Lukas menyebut jumlah pajak beserta denda sejak 2014 yang harus dibayar Freeport mencapai Rp 3 triliun. Namun pada akhirnya MA mengabulkan gugatan Freeport pada 2018. Dasar pertimbangannya sama: Kontrak Karya tahun 1988.
Dengan demikian, sudah 2 kali MA mengabulkan permohonan Freeport agar tak membayar pajak air permukaan ke Pemprov Papua.
Sumber: kumparan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan