OJK merelaksasi aturan RDPT guna menyambut dana repatriasi
Layaknya orang yang akan punya hajat besar, banyak hal yang perlu dipersiapkan supaya tamu senang. Begitu pula dalam menyambut dana dari program pengampunan pajak alias tax amnesty, pemerintah dan regulator menyiapkan berbagai kebijakan termaasuk relaksasi aturan. Dus, dana yang masuk bisa langsung diserap berbagai instrumen.
Reksadana pun digadang-gadang jadi salah satu instrumen pilihan untuk menampung dana repatriasi. Salah satunya : reksadana penyertaan terbatas (RDPT). Nah, agar pemilik modal mau menaruh uangnya di reksadana jenis ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merelaksasi aturan main RDPT.
Jadi, saat pencatatan RDPT, manajer investasi (MI) boleh belum memiliki perusahaan sasaran. Tapi, MI wajib melakukan investasi pada perusahaan sasaran paling lambat satu tahun sejak RDPT dicatatkan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 26/POJK.04/2016 tentang Produk Investasi di Bidang Pasar Modal dalam Rangka Mendukung Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
Relaksasi ini tentu berbanding terbalik dengan Peraturan OJK Nomor 37/POJK.04/2014 tentang Reksadana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas. Dalam beleid ini, secara tegas OJK mensyaratkan adanya perusahaan sasaran serta proyek sasaran sebelum RDPT dicatatkan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengungkapkan, relaksasi aturan RDPT itu mutlak harus ada, agar MI bisa menampung dana repatriasi dulu. Soalnya, dengan batas waktu program tax amnesty yang hanya sembilan bulan, MI dikhawatirkan tidak punya cukup tempo untuk menyeleksi perusahaan dan proyek sasaran, baru kemudian mendekati investor. “Tapi bukan cuma-cuma, lo, makanya kami mensyaratkan dalam setahun sudah menempatkan dana di perusahaan sasaran. Kalau tidak, ya, RDPT wajib dibubarkan,” tegas Nurhaida.
RDPT jadi fokus pertama OJK lantaran instrumen investasi ini erat kaitannya dengan sektor riil. Kebetulan, sektor riil juga menjadi perhatian dari pemerintah. Sektor riil yang dimaksud juga tak harus proyek BUMN, melainkan bisa dialokasikan ke proyek swasta.
Dengan begitu, Nurhaida yakin relaksasi ini akan mampu menopang program tax amnesty. Dan, di masa depan bisa tersalurkan ke proyek-proyek pengembangan infrastruktur seperti pembangunan jalan raya atau pembangkit listrik.
Siap rilis produk baru
MI memberi respons beragam. Meski sejumlah MI optimistis, ada pula yang bereaksi datar soal relaksasi ini.
Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management, bilang, walau relaksasi tersebut memudahkan investor masuk ke sektor riil, bukan berarti mereka harus masuk ke sektor itu. Pasalnya, sektor riil mengandung risiko yang cukup tinggi.
Sederhananya, dana yang ada di dalam RDPT disalurkan ke perusahaan untuk mendanai proyek. Kalau proyek tersebut berhasil, maka investor mengantongi keuntungan. Sebaliknya, jika gagal, investasi mereka bisa hilang. “RDPT cocok untuk investor yang benar-benar mau masuk ke sektor riil. Instrumen untuk tax amnesty ada bermacam-macam, tak hanya RDPT saja,” kata Rudiyanto.
Dan buat Sucorinvest Asset Management, relaksasi itu tidak berpengaruh. “Sebenarnya, bagi MI yang paling penting bukan cuma proyek tapi investor. Sampai saat ini masih jadi masalah karena belum ada minat langsung,” ujar Jemmy Paul Wawointana, Direktur Investasi Sucorinvest Asset.
Toh, Sucorinvest Asset sudah menyiapkan, beberapa proyek untuk RDPT, seperti pembangkit listrik dan properti. Nilainya berkisar US$ 20 juta-US$ 100 juta. Cuma, ketiadaan investor membuat produk RDPT belum diterbitkan. Menurut Jemmy, kebanyakan dana repatriasi akan masuk ke MI pelat merah. “Yang masuk ke Sucorinvest belum ada,” ucapnya.
Sementara Irvin Patmadiwiria, Direktur Investasi Ciptadana Asset Management, menyatakan, perusahaan bakal meluncurkan RDPT di semester II 2016, setelah bulan lalu merilis reksadana ini berbasis sukuk untuk proyek senilai Rp 65 miliar. Pada RDPT terbaru nanti, proyek yang dipilih ialah proyek infrastruktur dari emiten BUMN bernilai Rp 200 miliar.
Soal tak harus ada perusahaan sasaran, Isbono M.I. Putro, Direktur BNI Asset Management berpendapat, ini sangat relevan dengan waktu program tax amnesty yang cepat. “Exploring proyek butuh waktu lebih dari tiga bulan, sehingga jika harus cari proyek dulu mungkin investor justru enggan masuk ke MI,” cetus dia.
Padahal, investor atau orang yang memiliki dana yang terparkir di luar negeri dan diminta membawa pulang ke Indonesia butuh jaminan instrumen yang menguntungkan. Maklum, rata-rata imbal hasil RDPT yang merupakan private placement, Isbono bilang, bisa melebihi yield obligasi berperingkat BBB. “Makin cepat investor disodori pilihan akan berbagai instrumen yang menarik, makin memperbesar pula kesuksesan tax amnesty,” tutur Isbono.
Tapi, Irvin mengingatkan, relaksasi dari OJK juga punya risiko tinggi. Sebab, ketika membuat produk MI harus mengetahui kondisi keuangan perusahaan yang dibiayai dan paham dengan berbagai biaya yang harus dikeluarkan. “Jika MI tak tahu kondisi perusahaan, dikhawatirkan akan muncul masalah seperti batalnya proyek padahal RDPT sudah dicatatkan,” ungkap dia.
Sebetulnya, menurut Irvin, ada kelonggaran lain yang lebih penting yakni mengenai minimum investasi pada RDPT sebesar Rp 5 miliar per investor. Angka itu seharusnya bisa diciutkan jadi hanya Rp 1 miliar, karena ada proyek yang nilainya tidak terlalu tinggi.
Relaksasi lain yang juga dibutuhkan MI adalah, proses penerbitan RDPT di OJK bisa dipercepat. Selama ini butuh waktu dua bulan hingga tiga bulan untuk mendapat pernyataan efektif dari OJK. Irvin berharap proses itu bisa dipangkas menjadi hanya sebulan.
Jadi, stimulus dari OJK masih belum cukup untuk menggelar karpet merah guna menyambut dunia yang pulang kampung.
Penulis: Agung Jatmiko, Marantina Napitu
Sumber: http://www.pengampunanpajak.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pengampunan pajak
Tinggalkan komentar