Sebab, program 35.000 MW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun. Sementara pertumbuhan ekonomi dalam 2 tahun terakhir masih di kisaran 5%. Maka peningkatan konsumsi listrik tak sebesar perkiraan awal.
“Dengan pertumbuhan ekonomi yang asumsi kita 6%, Insya Allah 19.000 MW cukup,” kata Arcandra, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (14/11/2016) malam.
Meski demikian, dia menambahkan, target program 35.000 MW sampai 2019 tak perlu direvisi. Target tetap dikejar semaksimal mungkin hingga 3 tahun ke depan. “Saya pikir target nggak berubah,” tegasnya.
Menurut Arcandra, tidak terselesaikannya program 35.000 MW hingga 100% pada 2019 tidak akan membuat Indonesia krisis listrik. Tambahan 19.000 MW itu tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, pulau-pulau lain yang selama ini kekurangan listrik juga akan mendapatkan peningkatan pasokan sehingga mengurangi byar pet. “Apakah 19.000 MW itu hanya di Jawa? Kan ada distribusinya,” tutupnya.
Sebagai informasi, Jonan pesimistis program 35.000 MW bisa terselesaikan seluruhnya pada 2019. Menurut perhitungannya, kemungkinan 19.000 MW saja yang selesai sampai 2019. Tetapi hal itu tidak perlu dikhawatirkan, tidak akan terjadi krisis listrik pada 2019.
Dia menambahkan, kalau pemerintahan sekarang bisa membangun 19.000 MW dalam 5 tahun saja itu sudah luar biasa. Sebab, pemerintahan-pemerintahan terdahulu belum pernah ada yang bisa menambah kapasitas listrik sampai sebesar itu.
Saat ini, total pembangkit listrik di program 35.000 MW yang sudah selesai dibangun dan beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD) sekitar 200 MW atau 0,5%. Sebagian besar lagi masih dalam proses pembangunan, akan selesai kira-kira 19.000 MW hingga 3 tahun lagi.
Target 35.000 MW sampai 2019 juga terlalu besar, pasokan listrik sebesar itu tak akan terserap seluruhnya pada 2019. Kalau 35.000 MW selesai tepat waktu malah berisiko merugikan PLN. Sebab dalam kontrak jual beli (Power Purchase Agreement/PPA) antara Independent Power Producer (IPP) sebagai pemilik pembangkit listrik dengan PLN sebagai pembeli listrik ada mekanisme Take Or Pay.
Berdasarkan mekanisme itu, PLN harus membayar setidaknya sekitar 80% dari kapasitas maksimal pembangkit listrik, meski pasokan yang dipakai di bawah itu. Jadi misalkan pembangkit milik IPP berkapasitas 100 MW, tapi hanya 50 MW yang mengalir karena tak banyak industri yang menyerapnya. PLN tetap harus membayar untuk 80 MW meski pemakaian hanya 50 MW.
Kategori:Berita Ekonomi
Tag:artikel pajak, berita pajak, berita pengampunan pajak, berita tax amnesty, cara ikut pengampunan pajak, cara ikut tax amnesty, dampak tax amnesty, DPR, efek tax amnesty, ikut pengampunan pajak, ikut tax amnesty, kebijakan negara, kebijakan pajak, kebijakan pemerintah, pajak, pajak indonesia, pelaksanaan pengampunan, pelaksanaan pengampunan pajak, pelaksanaan tax amnesty, pemeriksaan, pemeriksaan pajak, pemutihan pajak, penerimaan negara, penerimaan pajak, Pengampunan pajak, repatriasi dana, repatriasi dana dari luar negeri, tarif pengampunan pajak, tarif tax amnesty, tax amnesty, update tax amnesty

Tinggalkan komentar