Butuh Bantuan Asing

Angan-Angan Pemerintah untuk memungut pajak dari para penyimpan uang di luar negeri, boleh jadi bakal segera menguap. Menjelang berakhir rangkaian program pengampunan pajak (tax amnesty ) pada akhir Maret nanti, nilai aset yang pulang kandang masih jauh dari kata memuaskan.

Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan komitmen repatriasai aset dari program pengampunan pajak  baru mencapai Rp 144,7 triliun. Nilai komitmen ini pun sudah mencakup tambahan sekitar Rp. 4 triliun dari periode sebelumnya.

Banyak? Ah, masih jauh panggang dari api. Menurut Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, setidaknya terdapat sekitar Rp 3.650 triliun harta milik warga Negara Indonesia di luar negeri. “Masih ada sekitar 2.000 triliun lebih. Kami menunggu hingga akhir Maret nanti,” ujar dia penuh harapan.

Memang, tak ada angka pasti mengenai nilai aset WNI di luar negeri. Ketika kasus Panama Papers meledak beberapa bulan lalu, pemerintah sempat menyebut bahwa potensi dana bisa ditarik di luar negeri mencapai Rp. 11.400 triliun. Kalau angka ini yang jadi patokan, tentu hasil program pengampunan pajak saat ini sama sekali tak bisa mengundang senyum para petinggi perpajakan.

Hestu sendiri masih yakin bahwa sebagian dana dari luar negeri ini masih akan memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. “Nah, kami tunggu hingga 31 Maret nanti. Mereka masih punya kesempatan untuk deklarasi atau repatriasi aset yang di luar negeri,” ujar dia.

Andaikata sampai detik terakhir Maret  ini target Ditjen Pajak tak tercapai, bukan berarti upaya menggenjot penerimaan pajak turut berakhir. Ditjen Pajak sudah menyiapkan langkah-langkah lanjutan supaya dana dari luar negeri tetap bisa digiring pulang sarang.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi “mengancam”, jika memang para wajib pajak yang memiliki aset di luar negeri ogah memanfaatkan pengampunan pajak, aka nada tindakan tegas. “setelah mereka tak menggunakan hak di tax amnesty, kini giliran pemerintah melakukan penegakan hukum. Tapi nanti setelah  bulan Maret ini,” ujar Ken.

Ancaman semacam ini memang kerap terdengar. Namun, kali ini, pemerintah sudah punya modal lumayan. Konon pemerintah sudah memegang data awal wajib pajak, nilai, dan di Negara harta karun itu tersimpan. “kami punya data Panama Papers. Presiden juga sudah mengantongi nama-nama yang lain,” sambung Ken.

Tak banyak waktu yang masih tersisa

Mengejar pajak di luar negeri tentu tak semudah memburu pajak di dalam negeri. Namun peluang untuk itu masih sangat terbuka.

Pemerintah bisa bergabung dalam kerjasama pertukaran informasi otomatis internasional yang dilaksanakan oleh Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi  dan pembangunan (OECD). Kerjasama antar Negara itu biasa disebut Automatic Exchange of Information (AEOI). Sistem kerja AEOI adalah pertukaran data keuangan warga Negara asing yang tinggal di sebuah Negara.

Pertukaran data keuangan tersebut dilakukan antar otoritas pajak yang berwenang disetiap Negara anggota. Pada fase implementasi, setiap Negara yang tergabung dengan AEOI akan mengirim dan menerima informasi awal (pre-agreed information), setiap tahun, tanpa harus mengajukan permintaan khusus.

Namun untuk bisa kerja sama AOEI, pemerintah perlu membuat aturan  penunjang. Beleid semacam itu menjadi salah satu syarat ikut dalam keanggotaan tersebut.

Pemerintah hanya punya waktu terbatas sebelum pertemuan lanjutan untuk membahas kerjasama ini digelar pada Juli mendatang. Pada pertemuan itu para anggota, termasuk Indonesia, akan menyerahkan persiapan regulasi di Negara masing-masing. “yang jelas sebelum tanggal 30 Juni peraturan pengganti undang-undang pertukaran informasi pajak dan keuangan harus selesai,” kata Hestu.

Dari situ baru akan ketahuan apakah Indonesia memenuhi syarat untuk ikut kerjasama OECD rencananya, pada 2018 mendatang bakal diresmikan siapa saja Negara yang ikut dalam kerjasama itu.

Sampai saat ini sudah ada 101 negara yang ingin bergabung dengan AEOI. Banyak dari Negara itu merupakan Negara-negara yang selama ini  sering dijadikan surga para penyimpanan dana. sebut saja Panama, Cayman Island, atau British Virgin Island. “ini, kan, Negara-negara yang bisa menyembunyikan harta,” ujar Hesta. Selama  ini Indonesia kesulitas mengendus harta-harta WNI di Negara-negara tersebut.

Ah, jangankan ke Negara-negara brankas harta anonym itu. Ke Negara tetangga Singapura saja kita menghadapi kendala besar. Hesta bercerita, banyak WNI di Singapura yang belum ikut program pengampunan pajak. “dari seluruh total harta WNI kita diluar negeri, sekitar 60%-70% disimpan di Singapura yang sudah mendeklarasikan hartanya belum ada separuh, “ ujar Hesta.

Selama Indonesia belum resmi bergabung dengan AEOI, pemerintah Singapura masih bisa mengelak jika Indonesia mencoba mengendus aset WNI di negeri Merlion itu. namun, kelak,ketika kita sudah terdaftar resmi, penyelesaian” komunikasi data” antara Indonesia dan Singapura ini bisa diupayakan melalui forum.  Secara tidak langsung Singapura akan lebih ketar-ketir jika memang Indonesia bisa ikut bergabung forum yang akan disahkan pada tahun 2018 mendatang.

Pengamat pajak wahyu Nuryanto berpendapat bahwa pemerintah sebenarnya masih bisa menggunakan tax treaty dengan lebih dari 60 negara. Namun kelemahan siste ini ada pada sifat kesukarelaan otoritas pajak Negara lain.

Kalau memang begitu sepertinya belum ada alternative solusi yang memadai selain berupaya untuk bergabung dengan AEOI. Meski landasan hukum kebijakan ini nanti berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, bukan tidak mungkin akan kendala politik maupun non politik untuk menjegal rencana ini. Harap maklum, ini urusan duit yang sangat- sangat besar. Tentu banyak yang bisa dibayar

Sumber: Tabloid Kontan, 20-26 Maret 2017

 

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar