Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, pembukuan penghasilan ditujukan untuk penghitungan pajak per tahunnya lebih jelas dan lebih murah dibandingkan dengan tidak memiliki pembukuan penghasilan.
“Jadi penghasilan berapa perbulan, pengeluaran berapa, udah gitu aja,” kata Ken saat acara Media Gathering Pajak di Tanjung Pandan, Belitung, Senin (17/4/2017).
Ken menyebutkan, imbauan dibentuknya pembukuan penghasilan karena adanya protes dari berbagai kalangan profesi seperti artis, yang merasa pembayaran pajaknya sangat tinggi.
“Kalau pembukuan kan itu gini, kalau pembukuan itu adalah penghasilan dikurangi biaya, biaya terus penghasilan kena pajak dikali tarif, dikurangi PTKP, kurangi PTKP kalikan tarif,” jelasnya.
“Nah kalau kita pakai normal, tarif normal dikali penghasilan terus dikurangi PTKP terus dikali tarif, jatuh nya lebih besar. Jatuhnya memang lebih besar,” sambungnya.
Dia mengungkapkan, perhitungan pajak berbagai profesi yang telah memiliki pembukuan penghasilan nantinya akan dikenakan pajak tidak.
Di mana, aturan tersebut yakni tarif normal x (penghasilan yang telah dikurangi biaya) – PTKP x tarif pasal 17 UU Pajak Penghasilan (PPh). Misalnya, artis dengan penghasilan Rp 500 juta dikurangi biaya Rp 100 juta dikalikan tarif normal yang sebesar 62,5% lalu dikurangi PTKP per tahun Rp 54 juta, setelah itu dikalikan tarif PPh 25% sehingga pajak yang dibayarkan sebesar Rp 49 juta, atau perhitungannya seperti ini 62,5% x (Rp 500 juta – Rp 100 juta) – PTKP x 25% = Rp 49 juta.
Sedangkan bagi profesi yang tidak memiliki pembukuan penghasilan akan dikenakan pajak final sebagaimana yang dirumuskan pada Perdirjen Pajak Nomor 15/2015.
Yakni, (tarif normal x penghasilan) – PTKP x tarif PPh. Misalnya, artis dengan penghasilan Rp 500 juta per tahun dikalikan tarif normal sebesar 62,5% lalu dikalikan 25%, artinya (62,5% x Rp 500 miliar) – PTKP x 25% hasilnya Rp 64 juta.
“Jadi ini mendorong seseorang melakukan pembukuan,” jelasnya.
Meski demikian, Ken mengungkapkan, imbauan mengenai pembuatan pembukuan penghasilan ini harus dikoordinasikan dengan instansi terkait seperti Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
“Saya masih harus koordinasi salah satunya dengan BKF, karena dengan pengenaan pajak tidak final ini bisa tracking potensi pajak yang sebelumnya tidak kita ketahui,” tukasnya.
Sumber: http://www.detik.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar