
Kewajiban pelaporan rekening ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak saat ini disebut banyak ditentang pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun, nyatanya, Budi Nur Cahyo mengambil sikap berbeda. Padahal, pengrajin bedug asal Mojokerto, Jawa Timur,ini memiliki usaha yang berpotensi membuatnya terkena kewajiban tersebut.
Saban bulan, Budi yang mengusung merek dagang Bedug Langgeng bisa memproduksi hingaa 34 unit bedug. Omzetnya rata-rata Rp 100 juta per bulan. Nah, Budi yang sudah sekitar 9 tahun menjadi pengrajin bedug ini mengaku tidak takut jika data rekeningnya dimiliki oleh Ditjen Pajak. “Kami ikuti saja aturannya pemerintah, ndak masalah. Dari uang pajak itu kita banyak menikmati fasilitas,”katanya.
Sikap serupa juga disampaikan Emma (56). Di beberapa rekeningnya di Bank Mandiri, ia memiliki saldo sekitar Rp 1,5 miliar. Menurut pengakuan Emma, sumber dananya berasal dari uang pensiun ia dan suaminya.
Ia sengaja memecah dana ke berbagai rekening tabungan dan deposito agar tidak ribet mengatur berbagai keperluan. Misalnya untuk dana simpanan dan keperluan sehari-hari.”Kalau mau diperiksa silakan. Saya tidak punya niat macam-macam, “kata Emma yang saat ini mengandalkan pemasukan dari bunga deposito dan dari uang pensiun.
Meski begitu, dia meminta agar pemerintah memberikan penjelasan lebih lanjut soal kebijakan anyar ini. Sebab, ia sendiri tidak paham betul dengan kewajiban tersebut. Juga, bagaimana penerapan dan dampaknya bagi pensiunan seperti dirinya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama bilang, nasabah memang tidak perlu khawatir. Apalagi jika rekening itu sudah dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan dan dananya bersumber dari penghasilan yang sudah dikenai pajak.”Jadi bukan saldo direkeningnya yang dipajakin lagi, “katanya.
Cuma, memang tidak bisa dibantah, kekhawatiran terhadap beleid ini memang meruyak di kalangan pelaku usaha dan masyarakat. Konsultan pajak Agus Susanto Lihin memahami kekhawatiran WP jika aparat pajak mengakses informasi keuangan mereka. Ia mendeteksi beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Poin penting pertama yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah rendahnya edukasi perpajakan kepada masyarakat. Secara psikologis, ketidaktahuan ini berujung pada munculnya ketakutan WP.
Contoh paling sederhana, soal pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Kata Agus, hanya sebagian kecil WP yang paham tata-cara pengisian SPT. Jauh lebih sedikit lagi yang memahami substansi atau materi pelaporannya. “Ini masalah klasik bagi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat melalui sosialisasi, iklan, dan sarana lainnya. Sehingga akan menciptakan wajib pajak yang taat, “kata Agus.
Faktor lainnya, kekhawatiran tersebut muncul dari pengalaman WP dalam berinteraksi dengan aparat yang kadangkala kurang bersahabat. Pengalaman yang kemudian diinformasikan ke WP lain membuat masyarakat semakin jeri, meski hanya mendengar kata pajak.
Penyebab lain terkait ketidaktaatan WP. Data WP yang melaporkan SPT tahun 2016 hingga April 2017 sebanyak 11,3 juta WP. Pada April tahun lalu, jumlah SPT yang dilaporkan mencapai 11,5 juta. Penurunan ini ditengarai bersumber dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)menjadi Rp 54 juta er tahun.
Nah, jika disandingkan misalnya dengan data jumlah UMKM yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dari 50 juta, pencapaian pelaporan SPT tadi terasa jomplang. Belum lagi kalau melihat jumlah UMKM yang mengikuti amnesti pajak yang sebanyak 243.977 WP. “Kondisi-kondisi ini harus diputar 180 derajat oleh otoritas pajak sehingga nantinya bukan perasaan takut melainkan perasaan bangga dan bertanggung jawab atas pajak yang telah disetorkan oleh mereka, “tandas Agus.
Ada celah
Besarnya resistensi yang muncul, tak pelak memunculkan kekhawatiran banyak yang mencari celah untuk menghindari kewajiban ini. Misalnya, dengan memecah dana ke beberapa rekening di berbagai bank. Pemisahan dana ini bisa saja disertai dengan modus menggunakan nama orang lain yang memiliki hubungan saudara atau tidak. “ Namun untuk Wajib Pajak yang sudah superkaya sepertinya agak sulit karena saldonya hanya maksimal Rp 1 miliar, “kata Konsultan Pajak Agus Susanto Lihin.
Bank hanya akan melaporkan rekening yang di tempatnya saja. Tidak bisa mengecek dan menggabungkan dengan rekening milik nasabah yang sama di bank lain. Kecuali jika beberapa rekening yang terpisah itu ada di satu bank yang sama.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, adalah pilihan bagi masyarakat jika ingin terus menghindar kewajiban perpajakan. “Kalau sudah dipecah-pecah saldonya mau diapakan? Sekarang ini kalau Pak Ken (Dirjen Pajak) menganggap saya belum bayar pajak dia bisa mintakan ke bank untuk liha saldo saya, “ujarnya.
Yoga sendiri berharap tidak ada lagi modus-modus penghindaran kewajiban perpajakan.Program pengampunan pajak yang sudah berlalu mestinya menjadi momen rekonsiliasi, saling mengakui kesalahan, dan bermaaf-maafan antara Wajib Pajak (WP) dengan pemerintah.
Meski begitu, aparat pajak sebetulnya bisa mengakses bukan saja saldo tapi juga mutasi rekening. Selain mekanisme pelaporan otomatis setahun sekali, Ditjen Pajak bisa mengajukan permintaan untuk membuka informasi rekening tertentu yang memuat soal mutasi ini.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan juga membuka ruang bagi aparat pajak untuk melihat mutasi rekening. “Sekarang pun kami bisa minta rekening melalui mekanisme Akasia, dan itu bukan hanya saldo tetapi mutasi, “tukasnya.
Akasia merupakan akronim aplikasi buka kerahasiaan bank. Perangkat lunak ini digunakan untuk merekam, mengunggah dokumen pendukung, memberikan persetujuan, mencetak surat permintaan pembukaan rahasia bank, serta sebagai sarana informasi dan pemantauan permintaan pembukaan rahasia bank.
Ke depan, Ditjen Pajak akan mengadopsi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sehingga daftar anggota keluarga akan terbaca sehingga bisa mendeteksi modus-modus penghindaran kewajiban pelaporan rekening. “Kami bisa punya mekanisme kedepannya untuk mendeteksi hal-hal seperti itu (pemecahan dana ke berbagai rekening). Tapi kami tidak berharap melakukan itu, kami berharap WP itu patuh ajalah, “ujar Yoga.
Jaminan anti bocor
Agar masyarakat dan pelaku usaha nyaman, ditjen pajak berupaya memperbaiki diri. Untuk urusan akses informasi keuangan misalnya, John Hutagaol memberi jaminan masyarakat tidak perlu takut informasi keuangannya bakal bocor. Dalam konteks Automatic Exchange of Information (AEoI), ada empat syarat yang harus dipenuhi negara peserta termasuk Indonesia. Salah satunya, lanjut Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, itu data informasi keuangan yang kita terima maupun yang dipertukarkan, harus dijaga kerahasiaan dan keamanannya.
Di semua negara, keempat syarat ini dinilai (assessment) oleh Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes. Forum global ini dibentuk awal tahun 2000 dalam konteks kerja Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk menangani risiko kepatuhan pajak yang ditunjukkan oleh yurisdiksi-yurisdiksi.
Indonesia sudah di assessment Juli 2016. Berdasarkan penilaian tersebut, muncul beberapa rekomendasi perbaikan. “Hasil dari rekomendasi itu akan disampaikan ke mereka, sekitar bulan September 2017, “kata John.
Informasi keuangan yang sifatnya otomatis dilaporkan setahun sekali, semua datanya akan dikendalikandan disimpan dikantor pusat Ditjen Pajak. Ketika data tersebut dibutuhkan untuk pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), kantor pusat akan melakukan penilaian apakah data tersebut bisa diberikan atau tidak. Jika diberikan ke KKP, Ditjen Pajak menjamin akan memantau penggunaan data tersebut dan harus bisa dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pagar yang disiapkan berupa sanksi pidana dan denda bagi aparat pajak pembocor informasi keuangan WP. Terkait hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Pasal 41. Ancamannya pidana kurungan satu tahun penjara dan denda Rp 25 juta. “Hingga saat ini belum ada orang pajak yang kena pasal itu, “kata Yoga.
Syarat berikutnya, negara yang ikut AEoI harus memiliki infrastruktur Teknologi Informasi (TI) sesuai standar OECD.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi menyebut sistem IT Ditjen Pajak sudah dinilai banyak Chief Information Officer (CIO) dunia, termasuk Google. Pada September 2016 TI Ditjen Pajak diperiksa tim OECD dan dinyatakan layak digunakan.”Jadi kalau Anda yang enggak percaya nanti enggak bakal bocor, enggak usah khawatir karena yang nilai bukan kami, “tandasnya.
Dijamin, nih. Pak,ya!
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar