JAKARTA – Pelebaran defisit anggaran membuat pemerintah terpaksa menambah utang. Penambahan utang diajukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, total utang pemerintah pusat hingga Mei 2017 mencapai Rp3.672,33 triliun dalam bentuk surat berharga negara (SBN) sebesar Rp2.943,73 triliun (80,2%) dan pinjaman Rp728,6 triliun (19,8%).
Dari sisi risiko, rasio utang dengan tingkat bunga mengambang sebesar 11,3% dari total utang, sedangkan rasio utang dalam mata uang asing terhadap total utang mencapai 40,9%. Adapun rata-rata utang jatuh tempo tercatat 8,9 tahun dengan utang jatuh tempo dalam lima tahun atau kurang sebesar 38,6% dari total utang. Namun demikian, berdasarkan draf APBN-P 2017, defisit keseimbangan primer yang menandakan produktif atau tidaknya utang justru menanjak dari Rp125,58 triliun pada 2016 menjadi Rp144,3 hingga Rp187 triliun.
Selain itu, total pembayaran bunga atas utang juga meningkat dari Rp191,22 triliun pada 2016 menjadi Rp219,2 triliun pada tahun ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) M Faisal berpendapat, pemerintah seharusnya menggenjot penerimaan, terutama pajak perusahaan multinasional asing yang saat ini mencari untung di Indonesia tapi tidak membayar pajak secara benar atau pajak impor barang-barang konsumsi.
”Selain dapat meningkatkan penerimaan negara juga sekaligus memperkuat industri domestik dan menahan laju impor barang konsumsi,” kata dia.
Faisal memahami bahwa pemerintah saat ini membutuhkan dana yang besar untuk berinvestasi di sektor infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Jumlah utang yang meningkat pesat sejak 2015 harus tetap diwaspadai meski rasio utang terhadap PDB masih berada di level 28%.
”Karena, bagaimanapun, utang tetap memiliki konsekuensi jika tidak dikelola dengan baik,” imbuhnya.
Sumber : okezone.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar