Pemeriksaan Pajak Pasca Tax Amnesty

Berakhirnya program tax amnesty pada tanggal 31 Maret 2017 memberikan tambahan penerimaan pada APBN dengan nilai tebusan Rp 114 triliun atau 60% dari target Rp 165 triliun. Momentum tax amnesty perlu diikuti oleh kebijakan lanjutan, agar jaminan penerimaan pajak tetap terjaga, sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang adil. Kita menyadari bahwa target penerimaan pajak hanya dapat tercapai jika kepatuhan wajib pajak (WP) sudah memadai.

Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Nurmantu (2010, 148), membagi kepatuhan perpajakan menjadi dua macam, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.

Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Contoh kepatuhan formal adalah ketepatan waktu setor pajak dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).

Sedangkan kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Aspek material terkait dengan kejujuran wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Dalam kenyataannya, terdapat wajib pajak patuh dan tidak patuh. Perilaku wajib pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya, menurut Bernard P. Herber seperti yang dikutip Nurmantu (2003, 150) dibedakan menjadi 3, yaitu tax evasion, tax avoidance, dan tax deliquency.

Salah satu tujuan dari tax amnesty untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dengan demikian setelah berakhirnya tax amnesty seyogianya kepatuhan wajib meningkat signifikan.

Konsep Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan pajak merupakan karakteristik kunci dari mekanisme kepatuhan sukarela dalam sistem self-assessment karena dengan semakin tinggi tingkat pemeriksaan akan dapat meningkatkan kepatuhan pajak (Allingham dan Sandmo dalam Isa dan Pope, 2010).

Okello (2014) menambahkan bahwa dalam sistem self-assessment, otoritas perpajakan lebih mengandalkan kontrol setelah penyampaian SPT seperti pemeriksaan pajak dan pemeriksaan pajak tersebut merupakan salah satu syarat untuk keberhasilan penerapan sistem selfassessment.

Hal ini tentunya juga berlaku untuk Indonesia yang menerapkan sistem self-assessment sebagai sistem pemungutan pajaknya. Sehingga pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak merupakan konsekuensi dari self assessment system yang dianut, merupakan faktor penyeimbang antara wajib pajak yang diberi kewenangan menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri sesuai dengan Undang-Undang Pajak serta peraturan pelaksanaannya dengan pihak fiskus.

Kepatuhan yang diuji oleh Direktorat Jenderal Pajak menyangkut kepatuhan formal maupun material, di mana proses auditnya tunduk pada Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya tentang pemeriksaan pajak.

Di sisi lain, pemeriksaan pajak diharapkan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak baik yang berasal dari temuan-temuan pemeriksaan maupun peningkatan kepatuhan wajib pajak pada tahun-tahun berikutnya (subsequent years effect) maupun dari wajib pajak lainnya (spillovers effect).

Penegakan Hukum Melalui Pemeriksaan

Penegakan hukum pajak (law enforcement) acap kali dilontarkan petugas pajak (fiskus) dalam berbagai kesempatan menyosialisasikan peraturan yang baru diterbitkan. Pasca berakhirnya tax amnesty menjadisorotan banyak pihak melihatlangkah Pemerintah cq. Ditjen Pajakdalam melakukan pemeriksaan.

Norma yang pasti menjadi acuan adalah Pasal 18 mengenai perlakuan harta yang belum atau kurang diungkap saat berlakunya tax amnesty, yang selengkapnya menyatakan sbb: Ayat (1): Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/ atau informasi mengenai Harta dimaksud.

Ayat (2) : Dalam hal: Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Ayat (3): Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.

Ayat (4): Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidangperpajakan. Norma tersebut menjadi kebijakan melakukan pemeriksaan pasca tax amnesty yang dikembalikan pada kedudukan UU perpajakan yang berlaku.

Artinya, pemenuhan kewajiban perpajakan (bagi yang ikut tax amnesty maupun tidak ikut tax amnesty) diberlakukan pada UU perpajakan yang berlaku. Proses pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan dan penyelesaian tindak pidana pajak akan dikembalikan pada aturan yang sudah berjalan sebelum adanya UU tax amnesty, kecuali pemerintah menerbitkan pola kebijakan pemeriksaan baru.

Pasca tax amnesty, Ditjen Pajak menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak No. 07/PJ/2017 tentang Pedoman Pemeriksaan Lapangan Dalam Rangka Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Peraturan tersebut merupakan kebijakan baru melakukan pemeriksaan pasca tax amnesty.

Pada intinya kebijakan pemeriksaan tetap didasarkan pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemeriksaan No. 6/1983 (UU KUP). Dalam analisis penulis, kebijakan pemeriksaan dalam aturan di atas sedikit lebih soft ketimbang cara sebelumnya karena pemanggilan dan pertemuan dengan wajib pajak mesti dilakukan di kantor pajak sebagai awal dilakukannya proses pemeriksaan.

Dengan kata lain, pemeriksa pajak tidak dibolehkan melakukan pengambilan data secara spontan (tiba-tiba) di tempat wajib pajak. Lain halnya jika wajib pajak tidak kooperatif, maka penyegelan tempat dan memasuki tempat wajib pajak dapat dilakukan (sesuai Pasal 29 ayat 3 dan 4 UUKUP).

Namun secara keseluruhan proses pemeriksaan tetap berjalan seperti yang sudah lazim dijalankan (termasuk melakuan pembahasan akhir/closing conference). Ketentuan peraturan Dirjen Pajak di atas juga lebih ditujukan kepada jajaran pemeriksa pajak untuk terlebih dahulu membuat audit plan dan audit program sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan. Hal itu adalah wajar dan memang semestinya dilakukan agar lebih matang dan memperoleh agar hasil maksimal.

Pemeriksaan merupakan kegiatan guna terjadi keseimbangan hak dan kewajiban dalam pemenuhan kewajiban pajak sesuai UU pajak. Sekalipun sudah ada system self assessment bukan berarti tidak boleh memeriksa. Karena segala sesuatu yang dilaporkan wajib pajak baru sebatas dianggap benar, bukan pasti benar (Manajemen Sengketa Pungutan Pajak, 2012: 25).

Tidak tertutup kemungkinan kepercayaan yang diberikan tidak dilaksanakan dengan benar. Jika demikian, perlu dilakukan pemeriksaan. Jika pemeriksaan pajak pasca tax amnesty dilakukan dengan memprioritaskan pada wajib pajak yang belum mengikuti tax amnesty, itu menjadi cara pemerintah memberi apresiasi kepada wajib pajak yang sudah mengikuti tax amnesty.

Tetapi ketika terdapat data yang signifikan yang terus dilakukan wajib pajak sekalipun telah ikut tax amnesty, bukan tidak mungkin jika pemeriksaan tetap diprioritaskan. Misalnya terhadap wajib pajak yang tetap menerbitkan faktur pajak fiktif setelah ikut tax amnesty.

Langkah pemeriksaan dalam norma UU KUP sebenarnya merupakan langkah terakhir ketika wajib pajak tidak menjalankan kepercayaan yang diberikan UU sesuai sistem self assessment. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) jelas menyatakan dalam hal wajib pajak belum dilakukan pemeriksaan lalu timbul kemauan sendiri melakukan pembetulan SPT, dibolehkan dan hanya dikenakan sanksi administrasi bunga 2% per bulan dari pajak kurang dibayar.

Bahkan dalam ayat (3)-nya disebutkan bagi wajib pajak yang sudah diperiksa tetapi belum disidik dan dengan kemauan sendiri membetulkan SPT, dikenakan sanksi administrasi denda 150%. Lebih nyata lagi disebutkan dalam Pasal 44B bahwa bagi wajib pajak yang sudah disidik, dapat dihentikan jika wajib pajak mau membayar empat kali lipat dari pajak kurang dibayar sebagai sanksi yang dapat dijalankan.

Dari norma itu, filosofi hukum pajak bukan ditujukan pada memberikan sanksi semata tetapi pada cara memberi kesempatan membayar pajak sebagai wujud gotong royong membangun bangsa. Pungutan pajak dalam UU tidak lepas dari nilai kegotong-royongan sebagai nilai filosofis tertinggi (lihat bagian menimbang dan Penjelasan umum dari UUKUP).

Seperti dikatakan Sindian (1965: 9) gotong-royong merupakan sendi kehidupan yang lebih mudah dapat meyakinkan kebenaran pungutan pajak. Sebab pajak merupakan sumbangan wajib sebagai akibat suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan yang menguntungkan atau memberi kedudukan tertentu kepada yang bersangkutan untuk turut membantu meninggikan kesejahteraan umum

Simpulan

Dari uraian di atas, tiga hal penulis simpulkan. Pertama, pasca berakhirnya tax amnesty, pajak tetap menjadi harapan sebagai sumber pembiayaan secara mandiri.

Kedua, penegakan hukum melalui langkah pemeriksaan menjadi satu cara menguji kepatuhan bagi wajib pajak yang belum patuh. Pasca berakhirnya tax amnesty kebijakan pemeriksaan pajak dikembalikan kepada aturan UU KUP yang ditujukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya (Pasal 29).

Ketiga, salah satu ukuran keberhasilan tax amnesty adalah meningkatnya kepatuhan sukarela wajib pajak.

Sumber: beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Pemeriksaan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar