
Gelombang protes dari petani tebu menolak rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) gula sebesar 10 persen, berbuah manis. Pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.
Kemarin, puluhan petani tebu menyambangi Kantor Ditjen Pajak, di Jakarta. Mereka menyampaikan protes terhadap rencana pemerintah mau mengenakan PPN gula sebesar 10 persen.
Kedatangan petani diterima Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi. Mereka menggelar pertemuan tertutup membahas polemik rencana pengenaan PPN gula.
Ketua Umum APTRI Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengungkapkan beberapa poin kesimpulan yang dihasilkan dari pertemuan tersebut.
“Poin pentingnya, petani tebu dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar tidak dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selain itu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka pedagang tidak membebankan PPN yang terutang kepada petani,” ungkap Soemitro.
Poin lainnya, lanjut Soemitro, Ditjen Pajak akan mengusulkan kebijakan penetapan gula petani sebagai barang kebutuhan pokok yang ditetapkan sebagai bukan barang kena pajak. Sehingga, nanti penyerahannya tidak dikenakan PPN.
Soemitro menuturkan, dengan adanya keputusan ini, tidak perlu lagi ada ketakutan dalam transaksi jual beli gula, apakah terkena PPN atau tidak. Sebab, seminggu lagi aturan yang menyatakan gula tebu bebas PPN akan keluar.
“Mulai hari ini (kemarin) sudah tidak perlu ada keraguan lagi dalam transaksi penjualan gula tani yang dilakukan oleh petani kepada pedagang, sudah tidak terutang PPN,” tegasnya.
Soemitro menjelaskan, pihaknya menolak pengenaan PPN. Karena, jika kebijakan tersebut diterapkan akan semakin membebani petani tebu. Selama tahun 2016, petani tebu merugi karena membengkaknya biaya yang dikeluarkan. Saat ini, produktivitas tanaman tebu nyaris di bawah 80 ton per hektare (ha) dan rendemen nyaris di bawah 7 persen. Biaya produksi per kilogram (kg) sudah mencapai Rp 9.500-Rp 10.500 per kg.
Kondisi ini terjadi dipengaruhi oleh modal kerja yang sulit, permasalahan bibit varitas unggul, dan infrastruktur irigasi. Padahal, petani gula tebu akan untung jika produktivitas 100 persen per ha dan rendemen mencapai 10 persen.
Ketua Umum Dewan Pembina APTRI Arum Sabil mengusulkan, untuk mengerek penerimaan pajak, pemerintah mengenakan PPN terhadap gula impor. “Kalau itu diterapkan, pemeritah mendapatkan pemasukan. Dan, mendukung daya saing petani tebu lokal,” cetusnya.
Sedangkan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi berharap, dengan tidak dikenakannya PPN gula, produktivitas petani tebu meningkat. Menurutnya, petani bukan pengusaha kena pajak, karena omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun.
“Sebenarnya tidak hanya gula, usaha apa pun yang omzet Rp 4,8 miliar setahun itu tidak dikenakan PPN dengan tujuan agar produksi dalam negeri bisa meningkat,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, sebenarnya kebijakan PPN 10 persen atas gula pasir dan produk pertanian atau perkebunan dijalankan lantaran adanya uji materi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007. Aturan tersebut mengatur tentang barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Termasuk penyerahan barang hasil pertanan dan perkebunan.
Suahasil mengungkapkan, pada awalnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang mengajukan uji materi atas PP Nomor 31 Tahun 2007 tentang perubahan keempat atas PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN tersebut. Hal yang terjadi selanjutnya, Mahkamah Agung mengabulkan uji materi tersebut dan disimpulkan bahwa barang hasil pertanian dan perkebunan bukan lagi menjadi komoditas strategis.
Hal ini tertuang di pasal 16B Undang-Undang (UU) tentang PPN. “Konsekuensinya ya harus dipungut PPN 10 persen atas penyerahannya,” ujar Suahasil, Senin (10/7).
Sumber: rmol.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar