Kebijakan Tak Sinkron, Daya Beli Masyarakat Dinilai Turun

JAKARTA. Para pengusaha membeberkan telah terjadi ketidaksinkronan antara kondisi makro dan mikro Indonesia. Indikator makro yang membaik nyatanya tidak dirasakan para pengusaha retail hingga momen krusial seperti Lebaran.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih berpendapat, daya beli masyarakat memang mengalami penurunan, sehingga kurang mendorong pertumbuhan sektor riil.

Rendahnya konsumsi di tengah membaiknya indikator makro ekonomi Indonesia dinilai mungkin disebabkan oleh regulasi pemerintah. Salah satunya, pencabutan subsidi listrik bagi 18,7 juta rumah tangga 900 va.

“Sebagian besar rumah tangga itu kan merupakan masyarakat menengah ke bawah. Kalau lihat perlambatan di sektor riil kemungkinan itu faktornya,” jelas Lana.

Selain itu, molornya pencairan gaji ke-13 kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang semestinya diberikan pada awal Juni menjadi Juli juga menjadi penyebab konsumsi masyarakat turun. Masyarakat menjadi tidak memiliki waktu yang lebih lama untuk berbelanja dengan leluasa.

“PNS di pusat saja totalnya 6-8 juta orang, belum di daerah. Dengan penundaan itu otomatis daya beli melambat. Meski pasti memiliki tabungan, tapi orang akan berbelanja secukupnya saja. Yang tadinya beli baju 2 potong, jadi berpikir satu saja dulu karena gaji belum turun,” imbuh Lana.

Tidak hanya itu, program amnesti pajak yang telah berakhir disinyalir ikut mempengaruhi lemahnya pertumbuhan sektor riil Indonesia. Meski secara kuantitas masyarakat menengah dan usaha kecil dan menengah (UKM) tidak banyak yang ikut amnesti pajak, tetapi efeknya dinilai cukup besar bagi penghasilan mereka.

“Untuk UKM itu berat meski tebusannya hanya 0,5%. Kalau mereka bayar pajak, bisa jadi akan mengurangi produksi dan kemungkinan mengurangi jumlah jam kerja karyawan. Dengan begitu, daya konsumsi karyawan ikut turun,” papar Lana.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S. Lukman menyatakan permintaan saat Ramadan dan Lebaran tahun ini menurun 10% dibanding pada 2016. “Penjualan tetap naik saat Ramadan Lebaran, tapi kalau dibanding periode yang sama tahun lalu memang pertumbuhannya kurang begitu bagus,”ujar Adhi.

Adhi berpendapat daya beli masyarakat saat Ramadan Lebaran tahun ini mengalami gejala pelemahan. Sebab penjualan makanan minuman selalu mengalami tren kenaikan yang signifikan sejak memasuki periode awal Ramadan. “Biasanya permintaan sudah naik signifikan seminggu sebelum puasa. Tapi untuk tahun ini justru permintaan makanan minuman baru terasa naik setelah seminggu puasa,”ujar Adhi.

Terlebih, pengusaha juga melihat penjualan ritel produk makanan minuman yang tidak sesuai ekspektasi. “Banyak supermarket yang melaporkan stoknya masih menumpuk saat Lebaran. Padahal biasanya periode sekarang di tahun tahun sebelumnya banyak yang sudah laporkan kehabisan stok,” ujar Adhi.

Menurutnya, pemerintah mesti memastikan tak menerapkan kebijakan kebijakan yang menghambat daya beli. Adhi juga berharap pemerintah tidak menerapkan aturan-aturan yang menghambat industri. Salah satunya tentang implementasi lelang gula rafinasi yang bakal mempersulit industri memperoleh bahan baku.

“Meski pemerintah memutuskan untuk menunda itu sampai Januari 2018, tapi itu mesti dirapikan lagi. Ya seperti yang saya bilang, saat seperti ini jangan sampai ada regulasi regulasi yang aneh.” ujarnya.

Adhi memperkirakan pertumbuhan sektor industri makanan minuman tahun ini dapat tetap bergerak di atas proyeksi pertumbuhan ekonomi. “Mungkin target tumbuh 7,5% – 7,8% di akhir tahun masih bisa dikejar,” tukasnya.

Sumber : okezone.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar