Indonesia masih terperangkap dalam zona perlambatan ekonomi. Meski sejumlah indikator menunjukkan tanda-tanda pemulihan, perekonomian nasional belum benar-benar terbebas dari belenggu perlambatan. Bahkan, jika pemerintah tidak hati-hati, sangat mungkin simpul-simpul perlambatan yang sudah mengendur itu akan kembali menjerat perekonomian domestik.
Indikator paling nyata dari perlambatan ekonomi adalah kredit perbankan. Kini, kucuran kredit perbankan tak sederas masa-masa normal. Kendati Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) optimistis penyaluran kredit tahun ini bakal kembali tumbuhdouble digit, sebagian bankir dan ekonom percaya kredit tahun ini bakal kembali tumbuh single digit seperti tahun silam.
Tentu saja kita berharap optimisme BI dan OJK bukan “angin surga”. Tetapi faktanya, tren pertumbuhan kredit Januari-Mei 2017 belum menggembirakan. Meski dalam lima bulan membaik secara tahunan (year on year/yoy), pertumbuhan kredit secara bulanan (month to month/mtm) melambat. Selama Mei 2017, kredit tumbuh 8,6 persen (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya 9,4 persen (yoy).
Bila dikaitkan dengan profil kredit, kinerja pertumbuhan kredit pada Mei 2017 juga agak mengecewakan. Kredit modal kerja (KMK) pada Mei tahun ini hanya tumbuh 8,5 persen (yoy), lebih rendah dari April sebesar 10 persen (yoy). Kredit investasi pun hanya tumbuh 7,9 persen dibanding 8 persen bulan sebelumnya. Begitu pula kredit properti, tumbuh lebih lambat dari 14,3 persen menjadi 13,7 persen.
Perlambatan KMK, kredit investasi, dan kredit segmen lainnya di sektor korporasi harus membuat kita waspada. Kinerja kredit sektor korporasi merupakan indikator utama untuk mengukur kesehatan sektor riil yang pada gilirannya turut menentukan putaran roda ekonomi di dalam negeri. Bila kredit korporasi memancar deras, roda ekonomi akan berputar kencang. Begitu pula sebaliknya.
Tak bisa dimungkiri, dunia usaha sedang lesu darah. Maka, untuk menggairahkan kembali dunia usaha, pemerintah harus memberikan stimulan. “Obat perangsang” bisa diberikan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal, bisa pula insentif nonfiskal, seperti kemudahan perizinan investasi. Jika stimulan tak segera diberikan, dunia usaha akan semakin loyo, bahkan kolaps. Bila ini terjadi, angka kemiskinan dan pengangguran bakal membengkak.
Kita “gagal paham” jika pemerintah tidak berupaya memberikan rangsangan kepada dunia usaha agar kembali bangkit, sehingga perekonomian nasional berputar kencang. Faktanya, masih banyak regulasi yang kontraproduktif terhadap langkah-langkah pemulihan ekonomi. Buktinya, Presiden Jokowi memperingatkan jajaran kabinetnya agar segera mencabut peraturan yang menghambat dunia usaha. Presiden bahkan menegur sejumlah menteri.
Peringatan dan teguran presiden kepada para pembantunya menunjukkan bahwa debirokratisasi perizinan investasi belum berjalan sesuai harapan. Padahal, pemerintahan Jokowi selama ini sangat royal mengeluarkan regulasi baru. Dalam dua tahun terakhir sudah 15 paket ekonomi diluncurkan untuk membantu dunia usaha agar mereka tetap ekspansif meski ekonomi melambat.
Adalah tindakan bijak jika pemerintah segera mengevaluasi ulang paket-paket kebjakan ekonomi yang telah diluncurkan sebelum menerbitkan paket-paket selanjutnya. Bila paket-paket itu terbukti tidak efektif dan tidak probisnis, jangan ragu untuk mencabut atau merevisinya. Tanpa bermaksud menafikan upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, kita khawatir paket-paket ekonomi itu memang tumpul sehingga gagal mencegah perlambatan ekonomi.
Sekali lagi, dunia usaha sedang butuh “infus” dan “multivitamin”. Bila kemudahan perizinan investasi tidak cukup maka insentif fiskal harus diberikan. Karena itu, kita merasa ganjil ketika pemerintah begitu bernafsu menggenjot penerimaan pajak. Dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2017, pemerintah mengajukan pemangkasan target penerimaan pajak hanya sekitar Rp 50 triliun dari total Rp 1.307,6 triliun dalam APBN.
Mengingat 85 persen penerimaan pajak dikontribusi sektor korporasi, target pajak yang tinggi akan mendatangkan konsekuensi bagi korporasi. Sulit dipercaya bila pemerintah tidak menjadikan insentif fiskal sebagai langkah terobosan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Alih-alih memberikan insentif pajak kepada dunia usaha, pemerintah malah menyatakan akan melakukan upaya-upaya ekstra demi mengejar target pajak.
Kita juga prihatin ketika muncul wacana bahwa batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang saat ini Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun bakal diturunkan. Meski pemerintah kemudian menyatakan batas PTKP tidak akan diturunkan, wacana itu tetap saja membuat kita khawatir. Apalagi belakangan ini muncul wacana baru bahwa formula PTKP akan diubah ke sistem upah minimum provinsi (UMP) atau disesuaikan dengan UMP masing-masing daerah.
Penetapan PTKP sesuai UMP masing-masing daerah akan semakin membebani masyarakat, terutama di level bawah. Dalam kondisi perekonomian yang belum pulih seperti sekarang, kebijakan tersebut akan melukai hati rakyat. Terlebih jumlah wajib pajak (WP) sektor informal lebih dominan. Jumlah tenaga kerja sektor informal mencapai 68,2 juta orang atau 58 persen dari total tenaga kerja. Lagi pula, bila WP perorangan terpuruk akibat formula PTKP yang tidak tepat, ujung-ujungnya sektor korporasi juga terkena dampaknya.
Sambil berupaya memulihkan ekonomi, ada baiknya pemerintah bersikap realistis. Terlalu ambisius mengejar target pajak seraya mengabaikan kondisi WP yang sedang terkena musibah perlambatan ekonomi adalah tindakan yang kurang bijak. Kebijakan yang tidak prorakyat dan tidak probisnis hanya akan mendatangkan efek domino dan memukul balik perekonomian domestik.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar