Prospek Investasi Semester Kedua 2017 Lebih Suram

JAKARTA. Lengkap sudah tanda-tanda pelambatan laju ekonomi dalam negeri. Setelah pelemahan daya beli konsumen, belanja pemerintah, dan ekspor impor, pertumbuhan realisasi investasi Indonesia juga menunjukkan pelemahan. Untuk itu pemerintah harus berbenah, mengingat investasi menjadi motor utama perekonomian nasional.

Makin lemahnya laju realisasi investasi ditunjukkan dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Lembaga ini mencatat realisasi penanaman modal di Indonesia selama triwulan kedua (periode April-Juni) tahun 2017 hanya sebesar Rp 170,9 triliun. Nilai itu hanya tumbuh 12,7% dari periode sama tahun 2016 sebesar Rp 151,6 triliun.

Nilai juga hanya naik 3,08% dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai Rp 165,8 triliun. Ini merupakan angka pertumbuhan realisasi terendah pada periode yang sama sepanjang lima tahun terakhir. Bahkan, pada tahun lalu saat ekonomi Indonesia tengah melemah, laju investasi kuartal II tumbuh 3,48% dari kuartal sebelumnya.

Tak heran, Kepala BKPM Thomas Lembong khawatir dengan prospek ekonomi dan investasi Indonesia pada triwulan tiga dan empat pada tahun ini. Apalagi, menurut nya, harga komoditas yang cenderung menurun pada kuartal kedua tahun ini .

Thomas mengatakan, harga komoditas tahun lalu hingga triwulan pertama 2017 naik 27%, “Bagi negara yang eksposurnya kepada komoditas seperti Indonesia, ini membantu, tetapi triwulan kedua harga komoditas turun lagi. Saya khawatir bisa jadi beban untuk ekonomi dan investasi Indonesia di triwulan III dan IV,” jelas Thomas saat pemaparaan hasil investasi kuartal 2 2017 di kantornya, Rabu (26/7) .

Efeknya mengkhawatirkan apalagi struktur investasi di Indonesia mulai bergeser ke arah padat modal dan meningkat padat karya. “Kalau kita tidak segera perbaiki, bisa saja investasi naik terus tapi pelaku usaha mengurangi tenaga kerja akibat efisiensi,” ujar Thomas . Thomas meyakini, makin lambatnya pertumbuhan investasi berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang menghambat investasi.

Perubahan struktur investasi memiliki risiko. Sebab meskipun target investasi tercapai, akan terjadi duktif dengan tujuan besar program ekonomi. “Jadi harus perhatikan struktur. Saya khawatir retail sales yang lemah di triwulan II di mana segala kategori retail sangat lemah, mulai  dari baju sampai petasan. Jangan sampai ini menunjukkan dunia usaha menggeser investasi ke program-program yang mengurangi ketergantungan pada tenaga atau efisiensi,” terang Thomas.

Hal ini tergambar dari penyerapan tenaga kerja yang turun. Menurut Deputi Pengendalian Pelaksanaan Modal BKPM Azhar Lubis, jumlah penyerapan tenaga kerja dalam kurun waktu enam bulan pertama ini tercatat 539.457 orang .

Jumlah ini turun 20,89% di bandingkan periode sama tahun lalu sebanyak 681.909 orang. Ini juga merupakan yang terendah sejak tahun 2012. Penyerapan tenaga kerja tertinggi terjadi pada semester I-2013 sebanyak 988.300 orang.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani menilai, kondisi dalam negeri belum mendukung perkembangan investasi.

Banyak investor yang tertarik masuk ke Indonesia, tetapi terkendala regulasi yang berbelit-belit dan inkonsistensi. “Jadi biarpun dari BKPM sudah mempermudah perizinan dan segala macam, tapi kalau sudah masuk teknis, itu ada regulasi yang berdampak ke bisnis secara langsung,” ujar CEO Sintesa Group ini.

Dari sisi competitiveness, menurut Shinta, negara lain banyak yang lebih kompetitif dari Indonesia dalam berbagai hal. Contohnya Vietnam yang memberikan beragam investor. “Ada yang diberikan lahan, jadi yang diberikan negara itu lebih banyak di tempat lain,” kata dia.

Kualitas labor di negara lain juga lebih baik, biaya lebih sedikit jam kerja lebih panjang. Di Indonesia, pengusaha terbebani kenaikan upah setiap tahun. Lalu terkait infrastruktur, meski pembangunan dimana-mana, tetapi banyak yang belum siap.

Ketua Apindo Bidang Kebijakan Publik, Danang Girindrawardana menambahkan inkonsistensi regulasi telah menciutkan nyali pengusaha. Ia mencontohkan, di bidang perkebunan, pada rezim Presiden Suharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, ada perusahaan yang memperoleh izin perkebunan hutan tanaman industri (HTI) atau pun sawit. “Sekarang di rezim Pak Jokowi, korporasi itu di nilai melakukan kejahatan land banking, merusak lingkungan atau praktik ketidakadilan penguasaan lahan,” kata Danang.

Sumber : Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar