Rencana pemerintah yang masih mematok tinggi kenaikan penerimaan perpajakan tahun depan patut dipertanyakan. Perubahan kebijakan wajib segera dilakukan, mengingat dalam tiga tahun terakhir Indonesia terus terjebak pertumbuhan ekonomi rendah, yang tidak bisa menyerap angkatan kerja baru. Pemerintah tidak boleh berlindung di balik alasan lesunya ekonomi global, mengingat India yang mengalami kondisi yang sama mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonominya.
Di mana-mana di dunia, pada saat ekonomi lesu, pajak dilonggarkan untuk menstimulasi ekonomi. Setelah ekonomi melaju cepat, barulah pajak bisa digenjot. Namun, di Indonesia, pajak terus dinaikkan meski dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi merosot rata-rata di bawah 5 persen. Pada 2013, meski turun dari tahun sebelumnya 6,23 persen, ekonomi masih tumbuh 5,58 persen.
Dari keterangan pemerintah atas RUU APBN 2018 serta nota keuangan menjelang HUT Ke-72 RI, target perpajakan dinaikkan menjadi Rp 1.609,38 triliun. Dibandingkan dengan perkiraan realisasi penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 1.446,7 triliun, kenaikannya mencapai 11 persen lebih atau Rp 162,6 triliun. Andai pun proyeksi shortfall (kekurangan dari target) Rp 26 triliun tidak terjadi, kenaikan pajak itu masih mencapai 9 persen lebih dari target dalam APBNP 2017 sebesar Rp 1.472,7 triliun.
Kenaikan target pajak itu jauh lebih tinggi dari kenaikan belanja negara yang cuma 3 persen (Rp 71,11 triliun) menjadi Rp 2.204,4 triliun tahun depan, dibandingkan pada APBNP 2017 sebesar Rp 2.133,29 triliun. Ini sama saja dana yang diambil dari masyarakat dinaikkan lebih banyak, ketimbang peningkatan belanja pemerintah atau yang dikembalikan untuk masyarakat. Padahal, di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang turun, pemerintah seharusnya membantu menggerakkan ekonomi dengan semakin menambah belanja pemerintah, tentunya untuk yang produktif. Apalagi, target pertumbuhan ekonomi dinaikkan pemerintah dari tahun ini 5,2 persen menjadi 5,4 persen tahun depan, dan realisasi hingga semester I 2017 sebesar 5,01 persen.
Pemerintah sendiri sebelumnya bahkan pernah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, karena memang minimal pada level tersebutlah baru bisa menyerap angkatan kerja baru di Indonesia yang besar. Level ini sebenarnya juga tidak benar-benar mustahil dicapai, mengingat India yang tahun 2013 pertumbuhannya hanya 4,4 persen (di bawah RI saat itu), tahun lalu mencapai 7,5 persen atau jauh melampaui RI yang 5,02 persen.
Dalam outlook ekonomi terbarunya, International Monetary Fund (IMF) menyatakan, negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia itu masih bisa mencapai pertumbuhan 7,6 persen tahun depan. India yang bersama Indonesia masuk G-20 atau 20 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, mampu memacu pertumbuhan ekonominya dengan berbagai jurus reformasi pajak dan menciptakan kemudahan berusaha untuk menggenjot investasi. India juga tegas memangkas pajak yang membebani laju perekonomiannya.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya juga sudah menyadari pentingnya kebijakan probisnis, yang bisa menarik banyak investasi dan menyerap tenaga kerja. Menteri keuangan pun berjanji memberikan insentif pajak tahun depan. Kementerian Keuangan tengah mengkaji kebijakan exemption tax (pengecualian pajak) pada beberapa barang kena pajak pertambahan nilai (PPN). Kebijakan tersebut di luar insentif perpajakan berupa penangguhan pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday) dan keringanan membayar pajak (tax allowance).
Meski hal itu dalam konsepnya bagus, namun sudah pasti tidak cukup untuk mendorong laju ekonomi kita ke jalur pertumbuhan yang sebenarnya bisa lebih tinggi. Apalagi, dalam kenyataannya, banyak sekali pengusaha yang mengeluhkan susahnya untuk mendapatkan tax holiday maupun tax allowance. Yang dirasakan adalah, pengusaha bahkan merasa dikejar-kejar dan ditakuti-takuti petugas pajak, padahal mereka dulu dijanjikan kalau sudah ikut tax amnesty tidak akan diperiksa lagi. Pengusaha merasa was-was dan banyak yang akhirnya memilih untuk menahan investasinya.
Oleh karena itu, ketimbang mereka-reka kebijakan menurut versi sendiri, lebih baik Kementerian Keuangan mendengarkan suara pengusaha yang menjadi mitra dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja. Selain kenaikan pajak sebaiknya lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional yang sekitar 5 persen, reformasi perpajakan yang benar-benar transparan dan luas dampaknya harus segera dilakukan seperti di India.
Selama puluhan tahun, India menerapkan pajak tidak langsung secara berlapis, yang membuat harga barang dan jasa melambung 25-40 persen. Namun, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, India berani melakukan reformasi pajak dengan menerapkan goods and services tax (GST). Hal ini pula yang kini dibutuhkan pengusaha, industri, maupun masyarakat kita yang selama ini terbebani PPN.
Oleh karena itu, pemerintah bersama DPR perlu mengubah rezim PPN menjadi GST yang tidak menimbulkan pajak berlapis. PPN memberatkan pengusaha maupun konsumen, karena pajak ini dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Sedangkan GST lebih ringan dan sederhana, karena hanya dikenakan pada saat pembelian oleh konsumen.
Selain mereformasi perpajakan, yang harus dilakukan pemerintah adalah menciptakan iklim bisnis yang baik di Tanah Air. Ini mencakup pula penghapusan semua regulasi yang menghambat bisnis, serta diharmonisasikannya semua perizinan yang masih tersebar di kementerian dan pemda di bawah pelayanan terpadu satu pintu yang lebih cepat dan sederhana. Selain itu, semua dana pemerintah–termasuk di pemda yang masih ratusan triliun rupiah mengendap di bank–harus segera digunakan untuk percepatan pembangunan infrastruktur dan investasi dengan penyerapan tenaga kerja tinggi. Yang tak kalah kalah penting adalah pemerintah dan penegak hukum harus mampu memberikan jaminan hukum, keamanan, dan ketenangan dalam berusaha.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar