
Pemerintah membuka peluang impor gas alam cair (LNG) dari konsorsium Singapura dengan harga USD 3,8 per MMBTU. Harga tersebut dinilai jauh lebih murah dibandingkan harus mengangkut LNG dari lapangan gas di kawasan Indonesia Timur.
Head of Marketing and Product Development Division PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Adi Munandir mengatakan, pemerintah perlu mengklarifikasi harga gas murah yang disodorkan oleh konsorsium asal Singapura sebesar USD 3,8 per MMBT tersebut. Jika harga tersebut baru merupakan harga hulu, nantinya untuk sampai ke Indonesia dan dimanfaatkan pelanggan industri harganya bisa lebih mahal dari harga gas domestik.
“Kontrak harga LNG di Amerika Serikat sekitar USD 3 untuk gas hulunya saja. Gas tersebut kemudian butuh proses liquifikasi, pengiriman dengan kapal tanker, regasifikasi, transmisi, dan terakhir didistribusikan ke pelanggan industri di Indonesia. Sampai ke end user harganya bisa lebih dari USD 11 per MMBTU. Bahkan bisa lebih mahal dari harga domestik,” ujar Adi di Hotel Grand Diara, Bogor, Kamis (7/9).
Adi mengatakan persoalan harga gas industri yang tinggi tidak bisa dicarikan solusi mudah dengan membuka keran impor gas. Sebab, dengan mengimpor gas demi mengejar harga yang murah akan membuat banyak proyek pengembangan lapangan gas di dalam negeri menjadi terhenti.
“Begitu impor LNG dilakukan, maka neraca perdagangan kita berubah bentuknya, menjadi defisit. Hal ini bisa berdampak pada nilai tukar Rupiah, inflasi dan sebagainya. Jadi untuk memutuskan impor sebaiknya dilakukan secara hati-hati,” jelasnya.
Adi menyarankan pemerintah melakukan rasionalisasi biaya distribusi gas dari hulu sampai ke pelanggan yang disalurkan melalui pipa gas. Sebab, apabila hanya bergantung pada penyediaan gas bumi dari impor, maka akan berdampak negatif bagi ketahanan energi nasional.
“Masalah penjualan bertingkat, sampai marjin itu harus dibenahi. Kalau Indonesia terus bergantung pada penyediaan gas bumi dari impor, maka akan berdampak negatif bagi ketahanan energi nasional. Sementara masih ada surplus LNG domestik yang belum memiliki pembeli. Karena itu saya menilai impor gas saat ini belum tepat dilakukan,” jelasnya.
Menurut Adi, kebutuhan gas dalam negeri masih tercukupi sampai tahun 2019. Bahkan melihat kondisi saat ini, kebutuhan gas diprediksi masih akan dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri hingga tahun 2023. “Apabila dilihat dari realisasi itu sebenarnya over supply. Jadi 2019, bisa jadi belum diperlukan impor, bahkan (impor LNG) bisa mundur ke 2023,” jelasnya.
Dinamika permintaan (demand) gas yang agak melambat merupakan salah satu faktor yang mendukung ketersediaan masih tercukupi hingga 2019 mendatang. Selain itu, produksi beberapa sumur yang masih sesuai dengan jadwal menjadi alasan lain terjaganya pasokan gas dalam negeri.
“Dinamika demand tidak seperti yang diproyeksikan dalam pertumbuhan neraca gas. Agak melambat hari ini, nah gara-gara agak melambat, produksi masih cukup. Dan apabila produksi di beberapa sumur sesuai dengan jadwal, itu masih oversuplly. Sehingga kita prediksi bisa lebih dari 2019, Bisa ke 2023 atau 2025,” pungkasnya.
Sumber : merdeka.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar