Beri Insentif ke Industri Hilir dan Padat Karya

Pemerintah perlu fokus membri insentif sektor industri yang menyerap banyak tenaga kerja

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengaku sedang mengevaluasi sejumlah insentif fiskal bagi industri, seperti tax holiday, tax allowance, insentif fiskal di Kawasan Ekonomi Khusus, dan pajak penghasilan (PPh) ditanggung pemerintah.

Evaluasi dilakukan karena selama ini insentif-insentif tersebut kurang dimanfaatkan oleh pengusaha. Dengan evaluasi ini diharapkan investasi akan meningkat. “Pada tahun pertama kali dan sampai hari ini, saya tanya yang menggunakannya hanya lima perusahaan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, pekan lalu.

Atas rencana itu, sejumlah pengusaha Tanah Air meminta selain insentif fiskal, pemerintah juga menata regulasi untuk mendorong produksi domestik lebih optimal, efisien dan berdaya saing. “Regulasi pengamanan pasar perlu lebih di fokuskan,” kata Hidayat Triseputro, Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), Minggu (10/9).

Menurutnya, insentif fiskal diharapkan mampu meningkatkan investasi baja karena kapasitas di hulu dan intermediate belum cukup untuk menyuplai pasar domestik.

Dilain sisi, impor masih menguasai kurang lebih 55% pasar domestik sehingga utilisasi industri lokal belum optimal. Oleh karena itu, Hidayat bilang, investor lebih concern pada jaminan dan pengamanan pasar di hilir serta kepastian regulasi.

Pemerintah perlu mempermudah syarat insentif dan memperketat pengawasan.

Pengusaha menganggap regulasi di hilir masih belum tertata baik. Ini terlihat dari adanya impor produk baja yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. “Itu dirasakan sebagai ancaman,” katanya. Dengan prospek pasar yang belum dirasakan aman, insentif fiskal seperti tax holiday belum cukup menarik mendorong investor berinvestasi dan mengembangkan pabrik.

Untuk itu pengusaha baja butuh, pertama, regulasi dan pengawasan impor untuk praktik unfair trade, termasuk non SNI. Kedua, penegakkan hukm SNI wajib. Ketiga, harmonisasi tarif. Keempat, implemetasi aturan tingkat kandungan dalam negeri. Lima, membuat harga gas lebih kompetitif. Enam, aturan bahan baku daur ulang, besi tua yaia ng saat ini belum tuntas. Ketujuh, ongkos logistik yang masih belum komptitif. Kedelapan, regulasi kriteria investasi baja yang bisa mendapatkan insentif fiskal.

Perhatikan padat karya

Sedangkan menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) nidang Perdagnagan Benny Soetrisno, pemerintah perlu fokus ke industri padat karya, seperti industri TPT, industri alas kaki, furnitur, dan kerajinan tangan. “Untuk industri padat karya perlu tambahan (insentif), yaitu industri yang orientasinya ekspor,” katanya.

Benny jga mengusulkan industri manufakstu berbahan baku hasil perkebunan diberi perhatian. Jenis instrumen fiskal yang dibutuhkan oleh sektor industri itu antara lain potongan PPh perusahaan (PPh 36) dan pajak penghasilan karyawan (PPh 21).

Selain itu, pemerintah perlu mempermudah persyaratan insentif pajak. Sebab untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday selama ini membutuhkan waktu lama, persyaratan rumit, dan penilaiannya membingungkan.

Sementara Sekjen Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia (APIKCI) Dwiatmoko Setiono lebih menyoroti insentif pada bahan baku coklat dan gula. “Gula di cokelat sekitar 50%-65%. Harga gula di Indonesia termahal sekitar 30% di bandingkan negara ASEAN,” katanya.

Oleh karena itu, dia meminta impor biji kakao dibebaskan dari bea impor karena produksi kakao terus menurun. Selain itu Dwiatmoko juga meminta agar ada pembebasan PPN gula industri.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Pemeriksaan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar