Menilai Penegakan Hukum Pajak

Terbitnya PP Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan, menjadi momentum penting keberlangsungan penerimaan pajak usai diberlakukannya UU Pengampunan Pajak No 11 Tahun 2016.

Publik diingatkan pentingnya penegakan hukum pajak untuk tujuan menghimpun dana dari pajak guna memenuhi target yang ditetapkan dalam APBN. Makna penegakan hukum patut dipahami agar tidak menimbulkan kegelisahan dan ketakutan terlebih bagi pelaku usaha.

Sebagian wajib pajak seringkali mengartikan penegakan hukum pajak dalam arti melakukan tindakan penyidikan pidana pajak, pemblokiran dana di bank atau menyandera wajib pajak. Makna penegakan hukum cenderung ditujukan pada fisik yang membuat keadaan tidak kondusif bagi dunia usaha.

Makna itu sebenarnya makna sempit yang hanya ditujukan untuk mendeteksi dan memberi sanksi semua pelanggar hukum pajak. Padahal, makna penegakan hokum dalam arti luas adalah cara menerapkan hukum dengan berbagai cara. Tepatnya, merupakan aktivitas yang bertujuan norma hukum dapat dilaksanakan, seperti ditulis Joshua Kleinfeld, “enforcement aims to make the norms of law actual: it aims to make those norms obtain in theworld.” (2011, 296).

Satjipto Rahardjo memaknai penegakan hukum sebagai rangkaian proses menjabarkan nilai, ide, cita yang abstrak menjadi tujuan hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran mampu diwujudkan dalam realitas nyata (Satjipto Rahardjo, 2009).

 Pasca Pengampunan Pajak

Terbitnya PP 36/2017 menjadi acuan bagaimana penegakan hokum pajak mesti dijalankan bagi yang ikut maupun tidak ikut program pengampunan pajak (tax amnesty) yang berakhir 31 Maret 2017 lalu. Konsekuensi hukum berlakunya PP 36/2017 menjadi cara meningkatkan kepatuhan.

Boleh jadi pemberlakuan PP 36/2017 kurang adil karena diperlakukan sama bagi yang ikut tax amnestymaupun tidak ikut tax amnesty. Pertanyaan yang sering muncul adalah untuk apa ikut tax amnesty jika tetap menjadi prioritas dikenakan tindakan hukum lagi?

Seperti kritik ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang menyatakan pemerintah terkesan menempatkan peserta tax amnesty sebagai sasaran utama. Kritik ketua Kadin bisa dipahami sepanjang peserta tax amnesty jujur melaporkan hartanya dalam Surat Keterangan yang disampaikan. Tetapi menjadi kurang bisa dipahami ketika tax amnesty seakan ‘dimanfaatkan’ untuk berlaku tidak jujur.

Di sinilah perlunya mencermati dan menilai penegakan hokum pajak. Bahkan berkembang konsep pendekatan rekonsiliasi pasca berakhirnya tax amnesty. Perlu disadari bahwa inti dari konsep selfassessment adalah kejujuran wajib pjak dalam memenuhi kewajiban pajaknya.

Kata ‘pendekatan rekonsiliasi’ yang berkembang di media perlu menjadi catatan penting agar hokum pajak dipahami dengan benar. Karena filosofi pajak tidak dimaknai mengintimidasi atau menakut-nakuti tetapi pada makna gotong-royong sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No 6 tahun 1983.

Pasca pengampunan pajak menjadi momentum rekonsiliasi bagi kepentingan negara untuk keadilan dan kesejahteraan. Pajak mesti menjadi garda terdepan yang dipatuhi wajib pajak agar tujuan Negara memberi kesejahteraan dipenuhi segera, sesuai dengan definisi pajak yang termuat pada Pasal 1 Undang- Undang No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Kalau begitu, berlakunya PP 36/2017 tidak perlu dikhawatirkan. Ditjen Pajak mesti memberi ruang komunikasi seluas-luasnya agar ketidakpahaman tidak berlanjut terus menerus. Ruang komunikasi dan diskusi merupakan cara terbaik demi terwujudnya tingkat kepatuhan wajib pajak melalui sosialisasi yang efektif.

Penegakan hukum dengan menegakkan norma hukum hanya bisa berjalan dengan baik saat ruang komunikasi dan diskusi tidak terkendala. Sifat ego, baik dari pihak fiskus maupun wajib pajak mesti dihilangkan. Posisi fiskus dan wajib pajak adalah sama, karena pajak adalah tanggung jawab kita bersama. Pajak pun mesti dinilai sebagai hokum yang bermakna sebagai tatanan karya sosial atau solidaritas sosial seperti dikemukakan ahli hukum Leon Duguit.

Solidaritas sosial dimaknai pada dua rasa, pertama, keharusan sosial (sentiment de la socialite), dan kedua, rasa keadilan (sentiment de la justice). Dua rasa tersebut amat erat melekat pada makna pajak yang sesungguhnya. Keadilan dalam solidaritas sosial dengan wujud perlunya pedoman bersama (seperti PP 36/2017) menjadi kebutuhan di masyarakat.

Keharusan keadilan dalam pajak merupakan kepekaan bagaimana membagi beban yang proporsional sesuai kemampuan. Aturan (baca: hukum) pajak merupakan hokum yang fundamental di masyarakat yang menguasai seluruh hidup masyarakat. Aturan pajak muncul dalam pergulatan internal di masyarakat.

Pasca pengampunan pajak melalui penerbitan PP 36/2017 adalah aturan untuk keadilan dan keharusan keadilan yang diinginkan bersama. Meski publik mungkin ada yang tidak sepakat, patut menjadi masukan guna kesempurnaan aturan. Mesti disadari tidak ada aturan yang sempurna dan pihak fiskus pun harus peka terhadap suara masyarakat wajib pajak demi penyempurnaan aturan.

Terbitnya PP 36/2017 pun tidak tercantum dalam Pasal 18 UU Pengampunan Pajak tetapi didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Persoalan hierarki hukum menjadi alasan kelemahan hukum yang dapat diperdebatkan.

Analisis penulis tidak berkaca dalam posisi itu tetapi cenderung pada makna terdalam dari isi PP 36/2017. Bagi peserta yang sudah memanfaatkan tax amnesty (pengampunan pajak) boleh jadi berharap tidak diperlakukan sama dengan yang tidak memanfaatkan tax amnesty.

Persoalan hukum semestinya bukan dilihat pada dua dikotomi berpikir seperti itu. Tetapi lebih pada tingkat kejujuran karena belum melaporkan harta yang dimiliki untuk dilaporkan (Pasal 18 ayat 1 UU 11/2016). Sangat logis jika penegakan hokum pajak dikenakan pada wajib pajak yang tidak jujur. Jika Tuan Abidin memiliki 5 harta namun hanya melaporkan 4 hartanya, adalah wajar jika 1 harta yang tidak dilaporkan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan pajak dengan tarif yang berlaku.

Kejujuran menjadi kunci untuk dipahami. Menjadi tidak adil ketika Ditjen Pajak mengetahui ada data yang tidak dilaporkan Tuan Abidin tetapi tidak ditegakkan aturan kejujurannya. Jadi, bukannya pemerintah tidak konsisten dalam penegakan hukum pajak tetapi justru kejujuran yang diutamakan dalam pelaporan pajak sesuai UU tax amnesty.

Mencermati uraian di atas, kiranya masyarakat dapat memahami betapa pajak butuh rasa keadilan dan kejujuran sebagai satu sikap solidaritas sosial. Wujud penegakan hukum pajak adalah penegakan norma hukum disepakati untuk kebaikan bersama.

Sumber : beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar