
Pelaku usaha tidak bisa berbuat banyak atas pengenaan pajak yang dilakukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Tolok ukur berlangsungnya ekspor ada di sensitivitas masyarakat di sana atas kenaikan harga. Awas ekspor bisa kita terancam.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat mengatakan, kebijakan itu akan berpengaruh terhadap produk yang diekspor. “Beberapa produk, dan beberapa anggota kami memang ekspor ke sana. Tentu akan pengaruh saya rasa, harga jualnya juga otomatis berpengaruh,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Meski begitu, Rachmat tidak mau buru-buru menyimpulkan berapa besar dampak penurunannya. Sebab kenaikan pajak akan memengaruhi harga, dan sensitivitas masyarakat akan menjadi penentunya.
Dia menjelaskan, orang Indonesia tentu akan gerah dengan kenaikan harga suatu barang karena pendapatan di sini lumayan sulit. Sedangkan masyarakat di Arab maupun UEA, cukup terbilang sejahtera. Sehingga dampak pasti ada, namun tidak akan sebesar Indonesia.
Rachmat menyebut, produk Indonesia yang diekspor ke kedua negara tersebut seperti mie instan, kopi kemasan, permen, dan produk makanan minuman. Dengan pengenaan pajak, eksportir tidak akan bisa menghindar.
Hanya saja, lanjut dia, pelaku usaha bisa lebih gencar melakukan penjualan. “Musuh dari pajak itu kenaikan harga, kaitannya dengan keinginan orang membeli. Jadi bagaimana kita mengimbangi keinginan orang membeli itu. Harus dipergencar promosi, dan efisiensi untuk mengurangi biaya internal,” katanya.
Dia memprediksi, dalam waktu dekat pengenaan pajak 5 persen tidak mempengaruhi kinerja ekspor produk ke Arab Saudi dan UEA. Namun untuk jangka panjangnya, harus melihat seberapa besar sensitivitas masyarakat di sana terhadap kenaikan suatu harga.
“Saya belum bisa berpendapat, tapi dalam waktu pendek nggak ya. Cuma dalam waktu menengah panjang, kami lihat, kalau ternyata sensitivitas harganya tinggi, ya mungkin akan terjadi penurunan permintaan, dan ekspor menurun,” tuturnya.
Rachmat mengakui tidak ada yang bisa banyak dilakukan pemerintah Indonesia terhadap kebijakan Arab Saudi. Namun dari dalam negeri, pemerintah bisa memberi dukungan agar industri lokal lebih kompetitif, dan mampu bersaing di pasar global.
Sekadar informasi, per 1 Januari 2018 Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mulai memperkenalkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pertama. Pungutan pajak 5 persen itu diterapkan di sebagian besar barang dan jasa.
UEA memperkirakan, pendapatan PPN akan sekitar 12 miliar dirham, atau sekitar 3,3 miliar dolar AS pada tahun pertama. Jumlah itu setara Rp 44,70 triliun. UEA berencana mengenakan pajak untuk bensin, solar, makanan, pakaian, dan tagihan listrik, sedangkan hotel sudah dikenakan PPN. Timbal baliknya, pengeluaran yang dikeluarkan dari pajak berupa perawatan medis, layanan keuangan, dan transportasi umum.
Sumber : rmol.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar